Lampu sudah lama menggantikan rembulan di sebuah kota. Beberapa pria sedang menyanyi di sebuah ruang karaoke. Mereka didampingi oleh gadis-gadis aduhai yang bertugas sebagai penghangat malam. Tidak seorang pun yang bersedih di situ.
Mereka memang sedang bersenang-senang setelah pagi hingga siang melakukan pertemuan di sebuah hotel dengan pihak swasta. Pertemuan itu berkaitan dengan sebuah proyek. Dan, mereka yang bersenang-senang itu adalah oknum-oknum wakil rakyat dari partai-partai yang terkenal. Semua biaya sejak pertemuan pagi hingga percumbuan malam dibiayai seutuhnya oleh pihak swasta.
Saya mengingat kejadian yang sudah berlalu lebih dari sepuluh tahun lalu itu. Maka, itulah awal saya kehilangan apresiasi terhadap wakil rakyat. Saya tidak heran pada cengar-cengir atau senyam-senyum oknum wakil rakyat yang tiba-tiba berompi oranye alias berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dan, kabar seputar korupsi yang paling menggemparkan tingkat nasional adalah kasus korupsi yang "berhasil" menciduk mantan Ketua DPR RI Setya Novanto di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, pada Senin dini hari, 20/11/2017. Benda-benda, misalnya tiang listrik dan bakpao, mendadak terkenal.
Sementara pada 2019 ini Indonesia sedang mengadakan Pemilu Serentak, yaitu Pemilihan Presiden (Pilpres), dan Pemilihan Anggota Legislatif (Pileg). Persoalannya, ada beberapa eks koruptor yang mendaftarkan diri menjadi calon legislatif (caleg). Persoalannya pun bukanlah persoalan sepele jika kemudian Kompasiana.Com menjadikannya sebagai "Topik Pilihan" dengan judul "KPU Tidak Umumkan Daftar Caleg Eks Koruptor di TPS" pada 27/02/2019.
Pada alinea pertama tertulis, "Sejumlah pihak mengusulkan KPU mengumumkan daftar caleg eks koruptor di TPS, bukan hanya di situs resmi KPU dan media massa. Meski Undang-Undang tidak mengatur mekanisme untuk KPU mengumumkan daftar caleg eks koruptor di TPS, namun informasi langsung kepada pemilih saat pelaksanaan Pemilu amatlah penting."
Korupsi
Korupsi (rasuah) di Indonesia memang memiliki sejarah yang panjang, bahkan sebelum penjajahan (imperialisme) asing. Dalam tulisan Jejak Sejarah Korupsi Indonesia (2005), Analis Sejarah Amien Rahayu dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan, sejak zaman kerajaan-kerajaan kuno budaya korupsi dilatarbelakangi oleh kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan.
Dalam buku KPK dari A sampai Z (2009), Adib Bahari, S.H. & dan Khotibul Umam, S.H. mengatakan, sejak Indonesia merdeka, sudah terdapat berbagai lembaga yang khusus dibentuk untuk pemberantasan korupsi (hlm. 72). Ada PARAN (Panitia Retooling Aparatur Negara), "Operasi Budhi", KONTRAR (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi), Tim Pemberantas Korupsi, Komite Empat, OPSTIB (Operasi Tertib), dan seterusnya hingga KPK yang berdiri pada 29 Desember 2003.
Dalam artikel "Pemberantasan Korupsi melalui Perubahan Lingkungan Manusia Indonesia (Artikel 5)" di KwikKianGie.Com (Maret, 2011) Kwik Kian Gie menulis, "Virus KKN sudah merasuk ke dalam otak dan emosinya, sehingga dia sudah menderita penyakit jiwa yang dinamakan make believe. Mereka berfantasi, dan lambat laun percaya bahwa fantasinya adalah fakta. Mereka berfantasi bahwa mereka dibolehkan oleh Tuhan untuk ber-KKN asalkan tetap ke gereja dan semakin fanatik, semakin boleh melakukan apa saja."
Penyakit Jiwa
Kwik menyebut "penyakit jiwa". Mungkin benar begitu, karena saya sering menyaksikan tayangan para koruptor yang cengar-cengir saja ketika ditangkap, atau berdekatan dengan awak media.
Kemudian kebiasaan saya membuka internet pun dan menanyakan pada Google.Com, "Koruptor mengidap penyakit jiwa". Apa yang saya temukan?