Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Cinta Kita Berakhir dalam Bagasi, Lion Air

Diperbarui: 9 Januari 2019   06:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

wikipedia

Per 8 Januari 2019 maskapai penerbangan Lion Air (LA) memberlakukan aturan baru bagi penumpang, terkait bobot barang (bawaan) untuk bagasi dan dimensi (ukuran) barang (bawaan) untuk kabin. Tak pelak saya harus berpikir ulang untuk menggunakan jasa penerbangan ini lagi pada suatu saat nanti.

Dua maskapai yakni Lion Air dan Wings Air mencabut layanan bagasi cuma-cuma 20 kilogram per penumpang mulai 8 Januari 2019 mendatang. Dengan begitu, para penumpang hanya digratiskan untuk membawa satu bagasi cabin seberat 7 kilogram dan satu barang pribadi. Ketentuan maksimum ukuran dimensi bagasi kabin adalah 40 cm x 30 cm x 20 cm.

Kabar yang ditulis oleh Corporate Communications Strategic Lion Air Group Danang Mandala Prihantoro pada Jumat, 4/1, tersebut disiarkan oleh Kompas.Com pada tanggal yang sama. Judul siarannya, "Penumpang Lion Air dan Wings Air Kini Harus Bayar Bagasi".

Sekali lagi, saya harus berpikir ulang alias beralih ke maskapai penerbangan lain. Ya, anggap saja saya pelanggan yang kecewa, dan beralih ke jasa lainnya bukanlah hal tercela. Toh, bisnis jasa penerbangan masih sarat persaingan. Toh, masih ada maskapai kompetitor yang mampu menampung dan mengangkut aspirasi saya. Cieee, aspirasi!

Lho, betapa tidak begitu, lha wong saya seringkali menggunakan jasa penerbangan LA, 'kan? Pihak administrator LA bisa mencari jejak saya melalui nama saya dalam sekian penerbangan.

Sebelum aturan bagasi tersebut, saya merupakan seorang pelanggan yang keras kepala. Ketika hendak membeli tiket LA, saya selalu siap dengan konsekuensi yang bernama "molor" alias "delayed". Orang-orang di sekitar saya, khususnya keluarga, tidak mau lagi menggunakan jasa LA gara-gara molor itu.

Apakah pihak LA pernah menemukan secarik uneg-uneg saya gara-gara molor?

Saya bisa berkompromi dengan molor. Mungkin karena cuaca yang buruk. Mungkin karena ada masalah di bandara. Mungkin karena hal-hal teknis yang memang penting untuk diselesaikan sebelum terbang.

Kebetulan saya bukanlah seorang pebisnis, yang selalu berkejaran dengan waktu dalam jadwal yang ketat. Saya pun tidak sudi menjadi "seolah-olah pebisnis" yang suka berkejaran dengan waktu, kecuali ketika bapak saya meninggal dunia pada 11 Maret 2016.

Molor, bagi saya, bisa saja merupakan kesempatan untuk "lebih" santai dalam berangan-angan tentang suasana di tempat tujuan, atau jalan-jalan sebentar di ruangan bandara sebagai upaya merekam suasana. Biasanya saya menemukan hal-hal baru atau yang menarik bagi saya.

Selain molor, jadwal penerbangan berikutnya (transit) yang jauh pun justru merupakan kesempatan bagi saya untuk merekam suasana, minimal melihat-lihat bangunan, baik interior maupun eksterior. Setiap bandara memiliki kekhasan masing-masing secara fisik dan sosial.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline