Keluarga saya sering membeli kudapan tahu sumedang di sebuah rumah makan dekat kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Suharto, Kab. Kutai Kartanegara. Setiap pulang dari Samarinda, pasti keluarga saya singgah ke rumah makan itu.
Awal Juli 2018 rumah makan di Kilometer 50 Jalan Poros Balikpapan-Samarinda itu tutup. Ya, tentu saja, cukup mengecewakan bagi kami yang telanjur ketagihan tahu sumedang. Masak, sih, kami harus pergi ke Sumedang, Jabar, hanya untuk membeli tahunya?
Ternyata penutupan rumah makan itu terkait dengan izin lokasi di kawasan hutan seluas 67.766 hektare ini. Begitu kabar yang saya terima dibarengi kasak-kusuk seputar kegiatan penambangan liar di balik rimbun pepohonan di kanan-kiri jalannya. Ya, rimbun pepohonan hanyalah tipuan mata (kamuflase) pada lalu lintas darat. Tentu saja tidak begitu jika dilihat dari udara, bukan?
Pemandangan Berupa Batu Bara
Pada awal tinggal di Balikpapan (2009), salah satu pemandangan yang sering menyapa saya adalah batu bara. Kalau sewaktu tinggal di Bangka, tepatnya Kampung Sri Pemandang Atas Sungailiat, pemandangan berupa pasir timah merupakan hal yang sejak kecil saya temukan di sekitar rumah orang tua saya.
Pemandangan berupa batu bara di Balikpapan, pertama kali, saya lihat pada gundukan batu bara yang diangkut oleh kapal tongkang yang melintasi perairan di tepi Teluk Balikpapan. Sangat mudah saya jumpai ketika saya berada di kawasan yang lebih tinggi dan terlihat batas permukaan laut di cakrawala. Atau, sesekali nongkrong di lapak kopi terbuka kawasan Melawai.
Kedua kali, ketika saya berkunjung ke sebuah kawasan perumahan yang di sudut lainnya sedang dalam proses persiapan (land clearing). Bongkahan-bongkahan batu bara terpampang sangat jelas. Hitam di antara cokelat dan hijau.
Dari kawan-kawan di Balikpapan saya mendapat informasi bahwa Pemkot Balikpapan melarang usaha penambangan batu bara di wilayah Kota Balikpapan. Kebijakan yang sangat bijaksana, menurut saya, karena entah apa jadinya Kota Beruang Madu ini jika ada izin penambangan batu bara.
Akronim Batu Bara
Batu bara, kata sebagian orang Kalimantan Timur (Kaltim) yang saya kenal sejak 2009, merupakan akronim dari "barang tuhan bagi rata". Akronim ini saya ketahui dari seorang kawan yang juga sering menjadi "juru bicara" jika ada orang yang mau mencari informasi seputar usaha batu bara. Kawan saya ini orang biasa saja tetapi bisa-biasa "bermain" dalam pekatnya batu bara kelas pinggiran.
Mengenai perihal batu bara sekaligus kalangannya, bukanlah hal baru bagi saya, meski baru menjadi warga Kaltim pada 2009. Sekitar 2007 saya mengetahui "seseorang" yang dikenal sebagai pengusaha oleh orang di sekitar indekos saya di Gang Jablay dekat Kompleks Penerangan, Jelambar, Jakarta Barat. "Seseorang" itu memiliki "pasangan indehoy" di sebelah indekos saya, dan sangat mudah memberi sejumlah uang kepada orang-orang di sekitar indekos saya.
Selain kedua orang (kawan, dan "seseorang") tadi, saya pun pernah bekerja di sebuah perusahaan kontraktor bidang bangunan. Bos saya memiliki usaha lain bersama adik kandungnya, yaitu penambangan batu bara. Saya tidak mengetahui seberapa besar bidang usahanya karena saya bekerja di perusahaan kontraktornya hanya 1 tahun.
Peran Orang Bangka dalam Kegiatan Penambangan di Kalimantan
Pada suatu kesempatan saya berkunjung ke tempat seorang kawan asal Bangka yang tinggal dan di Samarinda. Biasalah, orang Bangka berkunjung ke rumah orang Bangka di perantauan, 'kan?