Setiap 26 Desember per 2013 saya dan keluarga di Balikpapan pergi ke makam mertua laki-laki saya alias papanya istri saya. Makam mertua saya berada di pemakaman khusus Katolik yang juga daerah pemakaman umum Kilo 15.
Setelah dari Kilo 15, kami akan berziarah ke makam kakek-nenek istri saya di pemakaman umum Kilo 2. Di kawasan itu pun terdapat pemakaman Tionghoa, yang juga menjadi tempat peristirahatan bagi sebagian leluhur istri saya dari trah mamanya.
26 Desember adalah hari lahir mertua saya, yang dilahirkan di Mindanao, Filipina. 2013 adalah tahun meninggalnya, yang pada 23 Maret. Sementara bapak saya lahir di Madiun, Jatim pada 5 November 1929 dan dimakamkan pada 12 Maret 2016 di pemakaman Katolik dekat Bukit Siam Sungailiat tetapi saya dan istri sudah berziarah pada 6 Desember lalu.
Barangkali terasa aneh jika ziarah ke makam orang tua atau leluhur disandingkan atau dipadukan dengan wisata sejarah. Kata "wisata", bagi sebagian orang, berkonotasi makna pada suatu kesenangan, bahkan sesaat. Sedangkan "ziarah", apalagi ke makam orang tua atau leluhur bermakna suatu kontempelasi-refleksi. Barangkali begitu, ya?
Barangkali lho. Barangkali juga berbeda dengan berziarah ke makam tokoh-tokoh agama, semisal makam nabi atau penyiar agama di suatu daerah.
Pada perkembangan zaman yang terjadi, berziarah ke makam tokoh-tokoh agama telah dikelola dan dikemas oleh biro perjalanan wisata swasta menjadi "wisata relijius". Ya, pengelolaan tersebut memadukan antara ziarah dan wisata, yang ternyata disukai sebagian kalangan penganut agama terkait.
Mengenai satu ini, dalam artikel "Interpreter dan Wisata Ziarah di Lampung" (Fajar Sumatera, 30/6/2016) Eko Sugiarto menyebutnya sebagai "wisata ziarah". Wisata ziarah, tulis Eko, merupakan kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang umumnya dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat, dan kepercayaan umat atau kelompok tertentu. Tujuan orang melakukan wisata ziarah umumnya adalah untuk berdoa.
Dalam artikel “Duta Wisata Masa Depan” (Fajar Sumatera, 25/8/2015) Eko juga mengajak kedua anaknya berkunjung ke sebuah kompleks pemakaman pada suatu waktu. Kompleks pemakaman yang mereka kunjungi adalah Taman Makam Seniman Budayawan Girisapto di Imogiri, Daerah Istimewa Yogyakarta. “Itulah cara yang sering saya gunakan (jika memang memungkinkan) untuk memperkaya pengetahuan anak-anak terhadap apa yang sudah mereka peroleh di bangku sekolah,” tulisnya.
Apakah salah, keliru, bahkan sesat apabila ziarah dipadukan dengan wisata sejarah, atau seperti sebutan Eko, yaitu "wisata ziarah"?
Melalui artikel ini saya tidak tertarik untuk berasumsi pada benar-salah dan sekitarnya. Saya hanya tertarik pada perpaduan antara ziarah dan wisata sejarah, khususnya sejarah paling kecil, yaitu keluarga. Bukan pula wisata sejarah terkait dengan suatu daerah atau kota, semisal Kota Wisata Sejarah Muntok, Bangka Barat.
Makam, bagi saya, merupakan sebuah artefak atau bukti fisik suatu sejarah. Makam orang tua atau leluhur pun merupakan sebuah artefak sejarah, khususnya sejarah keluarga. Dengan adanya makam, di situlah bukti fisik sejarah yang paling hakiki, kecuali kompleks pemakaman digusur, terkena bencana alam, atau tenggelam karena aktivitas tertentu semacam lumpur Porong, Sidoarjo, Jatim.