Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Ketakwaan yang Terkawal

Diperbarui: 25 Desember 2018   00:12

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Setiap hari besar atau hari ibadah pasca-isu besar (terorisme) akan terlihat beberapa aparat berjaga-jaga di sekitar rumah ibadah umat minoritas. Pemandangan semacam itu sudah marak sejak hampir dua dasawarsa. Penanda awalnya adalah kasus bom Bali 2002.

Suasana memang berbeda dengan sebelum tahun 2000-an. Rumah ibadah pada peribadahan rutin, dan hari besar, suatu umat minoritas leluasa melakukan kewajiban atau ritual paling hakiki sebagai ciptaan Tuhan. Aparat keamanan pun bisa tetap bertugas pada posisi biasa, tidak perlu repot menambah tugas, dan tidak perlu pula memacu adrenalin dengan segala kemungkinan yang mendebarkan.

Kata "minoritas" memang tidaklah untuk suatu agama dan satu wilayah. Minoritas di suatu wilayah bisa mayoritas di wilayah lainnya. Mayoritas di suatu wilayah pun bisa jadi minoritas di wilayah lainnya.

Bagi sebagian orang yang sudah pernah keliling Nusantara pasti mudah melihat perbedaan itu. Berbeda lagi di negara-negara lain, semisal Pakistan. Namun ini Indonesia, dan tidak sedang menjalani misi khusus ke luar negeri seperti Novelis Asni Yurika dengan novel "Aleena" (2018).

Dikotomi "mayoritas-minoritas", sebenarnya, berada di luar konteks kemerdekaan 17 Agustus 1945. Para bapak bangsa (Founding Fathers) tidak pernah repot berdiskusi mengenai hal semacam itu karena keutamaan berbangsa-bernegara adalah merdeka-berdaulat. Merdeka pun cakupannya luas, termasuk merdeka dalam beribadah. Berdaulat juga cakupannya luas, termasuk berdaulat dalam beragama.

Ya, mau bagaimana lagi jika euforia Reformasi 1998 pun dimanfaatkan oleh sebagian kalangan, khususnya radikalis-ektremis, untuk memuaskan hasrat tertentu. Umat minoritas, mau-tidak mau, melakukan kewajiban dengan suasana yang berbeda sekaligus berdebar.

Di satu sisi, hakikat beribadah atau "mendekatkan diri kepada Sang Pencipta"secara kolektif merupakan kewajiban pula, selain beribadah secara individual. Kesungguhan atau kekhusyukan beribadah pun pada hakikatnya merupakan keutamaan.

Siapakah yang senang melihat suatu peribadahan justru diliputi kewaspadaan dan kecemasan?

Akan tetapi, sebagian umat yang ikhlas-pasrah kepada kehendak Sang Pencipta (takdir) akan selalu siap apabila "mendekatkan diri" terjadi secara mendadak-nyata melalui "duar!", "duar!", dan "duar!". Apa boleh buat jika takdir tidak bisa dijaga oleh siapa pun, 'kan?

Sebagian umat yang benar-benar menyadari hakikat kehidupan di dunia akan berpikir mudah mengenai takdir hidup-mati siapa atau umat agama apa. Tuhan yang memberi nafas, Tuhan pula yang berhak mengambilnya. Hari ini bisa bernafas tetapi besok belumlah tentu begitu. Tidak perlu repot memakai tangan manusia sehingga persoalan "tangan manusia" juga tidak perlu berhadapan dengan "tangan manusia" lainnya seperti tertulis, "Pedang akan melawan pedang".

Persoalannya bukanlah takdir yang sesederhana itu dalam realitas berbangsa-bernegara dan pergaulan global. Kalau negara wajib melindungi warganya yang berada di luar negeri, tentu saja, terlebih lagi di dalam negeri sendiri, 'kan?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline