5-8 Desember saya pulang ke kampung halaman (Kampung Sri Pemandang Atas) di Sungailiat, Bangka (Babel) dalam rangka memperingati 1.000 hari meninggalnya bapak saya, Joseph Slamet Soedharto (5 November 1929 -- 11 Maret 2016). Mengenai kepulangan ini, saya telah singgung dalam artikel "Menyerahkan Diri Seutuhnya pada Sebuah Penerbangan" (30/10/2018).
Ya, saya pulang dari Kupang, NTT, menggunakan maskapai penerbangan Lion Air Group. Semula, penerbangan Koe (Kupang)-Pgk (Pangkalpinang) menggunakan Lion Air. Namun, karena ada perubahan waktu penerbangan Koe-Cgk (Cengkareng) dengan nomor penerbangan JT 695, saya beralih ke Batik Air dengan nomor penerbangan ID 6541. Masih Lion Group juga, 'kan?
Untuk penerbangan Cgk-Pgk, tetap menggunakan Lion Air dengan nomor penerbangan JT 618. Bangku penumpang tidak ada yang kosong. Meski "agak" terlambat, selama dua penerbangan itu sama sekali tanpa gangguan teknis, dan biasa saja setiba saya di Bandara Depati Amir pada pkl. 17.30 WIB.
Sementara istri saya sudah tiba terlebih dulu (selisih 30 menit) dari Balikpapan dengan maskapai Sriwijaya Air. Dia memesan tiket Sriwijaya Air pasca-jatuhnya Lion Air JT 610 di Tanjung Karawang, Jawa Barat.
Dan, pasca-tragedi Lion Air (29/10/2018) dia pun sempat menanyakan, apakah saya mau menggantikan tiket dari Lion Air ke maskapai penerbangan lain yang lebih aman. Saya tetap dengan apa yang sudah ada (kesepakatan dengan pihak penjual tiket daring/online).
Saya tidak pernah khawatir mengenai keselamatan dalam penerbangan. Yang saya khawatirkan hanyalah tiket jika maskapai penerbangan itu ditutup sebelum saya pulang dan pergi lagi. Bisa ribet urusannya, 'kan? Terlebih biaya tidaklah sedikit karena saya bukanlah tergolong orang berduit (saban bulan menerima gaji atau memiliki uang berjuta-juta rupiah di rekening tabungan), dan 1.000 hari tidaklah bisa diundur/ditunda.
Trauma Tingkat Provinsi
Jatuhnya pesawat Lion Air berjenis Boeing 737 Max 8 yang berjurusan Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng -- Bandara Depati Amir, Pangkalpinang, memang meninggalkan trauma bagi sebagian orang, terlebih orang dari Pulau Bangka. Mengenai ini pun saya dengar secara langsung dari kakak saya, Antonius Wahyudi, yang menjemput saya dan istri.
Kecelakaan yang menelan nyawa semua orang dalam pesawat itu merupakan kejadian pertama kali untuk penerbangan ke Pulau Bangka. Selama 3 hari bendera setengah tiang berkibar. Selama 1 minggu pihak Pemprov Babel membatalkan semua perjalanan dinas ke luar pulau dengan pesawat terbang. Orang-orang Bangka lainnya pun tidak mau menggunakan pesawat Lion Air selama beberapa hari kemudian.
Pasca-tragedi itu kakak saya pun sempat mengalami trauma "tingkat provinsi", terlebih harus melakukan perjalanan dinas ke luar pulau dengan menggunakan pesawat terbang yang mengalami "sedikit" gangguan.
Saya maklum karena, faktanya, ada kawannya yang menjadi korban. Juga kawan sekolah anaknya, kawan kakak sulung saya, kawan saudara-saudara saya, dan lain-lain. Akan tetapi ia tidak bisa berkomentar ketika mengetahui bahwa saya menggunakan Lion Air untuk pulang, atau "mengingatkan" saya agar tidak menggunakan Lion Air lagi, termasuk kalau saya kembali ke Kupang.