Sepatutnya tidak perlu membandingkan fisik suatu daerah dengan lingkungan fisik tertentu untuk membandingkan kondisi kaya dan miskin. Tetapi kalau itu dilakukan, sebenarnya, sudah kebablasan alias di luar kepatutan.
Hal ini terjadi pada pidato calon presiden (capres) nomor 02 dalam acara peresmian Kantor Badan Pemenangan Prabowo-Sandi di Boyolali, Jawa Tengah, Selasa, 30/10. Sebagian pidatonya menyebutkan nama-nama hotel mewah di Jakarta.
"Kalian kalau masuk mungkin kalian diusir karena tampang kalian tidak tampang orang kaya. Tampang kalian, ya, tampang-tampang Boyolali ini," katanya.
Oh! Mengapa berpidato dengan menyebut "diusir" karena "tidak tampang orang kaya, tampang-tampang Boyolali"?
Apakah kalau bertampang Boyolali lantas lumrah saja "diusir" dari sebuah tempat mewah?
Apakah "tampang Boyolali" sama dengan "tidak tampang orang kaya"? Apakah orang Boyolali pun tidak patut bertampang orang kaya? Apakah orang Boyolali wajar "diusir" atau dipelakukan secara diskriminatif (berdasarkan kelas) begitu?
Pidato itu sangat tidak patut. Sungguh-sungguh di luar batas kepatutan dalam berpidato dan berkelakar.
Berkelakar yang kebablasen dengan "menertawakan" kondisi ekonomi orang lain bahkan sekelompok orang semacam itu pun pernah dilakukannya. Waktu itu tertuju pada kalangan wartawan di Universitas Bung Karno dalam peringatan Hari Kemerdekaan 17 Agustus 2017.
"Kita juga bela wartawan. Gaji kalian juga kecil, 'kan? Tahu (saya), kelihatan dari muka kalian," ujarnya diikuti gelak tawa.
Pada Minggu, 1/4/2018 di Auditorium Hotel Bumi Wiyata, Depok, Jawa Barat dalam acara “Prabowo Menyapa Jawa Barat”, ada ralatnya dengan “menyamakan diri”.
"Wartawan itu sama hatinya dengan kita, karena gajinya kecil, mereka yang gajinya kecil sama kayak kita,” katanya.