Sebagian kalangan tersenyum sinis ketika jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 berikut seorang jaksa penuntut umum dalam kasus penistaan agama-Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Sebagian dari kalangan itu pun berkata, "Keadilan lebih perih!"
Terkait dengan senyum sinis mereka adalah sebuah berita yang langsung populer dengan huruf kapital. "TERPOPULER Seorang Penumpang Lion Air JT610 Adalah Jaksa yang Tangani Kasus Ahok", begitulah judulnya di Tribun Jakarta, Selasa, 30/10.
Adalah Andri Wiranofa, Koordinator pada Kejaksaan Tinggi Bangka Belitung. Sebelum menjadi korban jatuhnya pesawat Lion Air, Andi merupakan seorang di antara 13 Jaksa Penuntut Umum dalam kasus penistaan agama yang menyeret mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok.
Dalam musibah penerbangan Jakarta-Pangkalpinang itu Andi bersama istrinya. Tidak seperti biasanya sang istri ikut dalam penerbangan dengannya. "Dua-duanya sekaligus," kecam satu-dua orang.
Keadilan lebih perih. Sungguh perkataan-kecaman yang justru lebih perih. Tidak berbeda dengan komentar perih lainnya terhadap korban bencana alam, misalnya gempa Lombok dan gempa Palu, dengan membawa-bawa "pengadilan" (baca: hukuman) Sang Maha Pencipta.
Sepakat atau tidak, kebencian atau ketidaksukaan terhadap seseorang bahkan sentimenisme politis berpotensi menggerus rasa empati-perikemanusiaan orang bahkan sekelompok orang lainnya. Seseorang yang tidak disukai, dan kemudian menjadi korban suatu peristiwa tragis, malah ditaburi duri-duri mawar.
Miris nan ironis. Itulah yang melingkupi pergaulan sebagian masyarakat Indonesia yang dilanda "mabuk agama" kronis. Semakin tinggi pengetahuan-pemahaman tentang Tuhan, dan semakin tinggi penghargaan kepada Tuhan, tetapi semakin rendah penghargaan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, bahkan sebagian sudah tidak memiliki perikemanusiaan.
"Mabuk agama" memang cenderung seolah menampilkan suatu sosok berderajat kemanusiaan "mendekati" Tuhan dengan gerak-gerik dan ucapan penuh ayat suci. Sebentar-sebentar nama Tuhan disandingkan dalam deretan perkataan. Tetapi begitu suatu musibah terjadi pada diri orang bahkan banyak orang, seketika "pemabuk agama" mendakwanya sebagai hukuman Tuhan.
"Mabuk agama", sebenarnya, paling berbahaya daripada mabuk lainnya. Merasa diri dekat dengan Tuhan sekaligus justru menjauhkan dirinya dari realitas kemanusiaan beserta lingkungannya. Lupa daratan, begitulah kira-kira.
"Mabuk" dan "merasa" memang berbahaya. "Mabuk" berarti "tidak sadar" atau di luar kesadaran. "Merasa" berarti anggapan diri sendiri, dan di luar realitas yang hakiki. Keduanya (mabuk-merasa) berkolaborasi sebagai "bahaya laten" terhadap duka-derita di sekitarnya.
Senyum sinis alias kecaman terhadap korban suatu musibah bisa disepakati oleh kalangan pemabuk sebagai suatu kewajaran dan kesaksian tingkat langit. Padahal hal semacam itu sejatinya justru ironis nan miris dalam sisi manusia ber-Tuhan Maha Pengasih-Penyayang.