Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Politik yang Cengeng

Diperbarui: 18 Oktober 2018   14:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sepakat atau tidak, salah satu komoditas politik pasca-Reformasi atau lebih satu dekade ini adalah "belas kasihan" alias kecengengan. 

Pengusiran, pelarangan, penganiayaan, pengucilan, penghinaan, pengancaman, penembakan, dan lain sebagainya dimanfaatkan sedemikian rupa oleh segelintir elite politik melalui para pewarta untuk meraup empati-simpati rakyat yang, diharapkan, berwujud dukungan ataupun penggalangan massa.

Yang paling ramai adalah apa yang dialami lalu diakui oleh Ratna Sarumpaet pada 21 september 2018 hingga jajaran elite pro-nomor 2 segera bereaksi. Sebelum-sebelumnya, ya, bisa ditelusuri dalam jejak digital.

Dan semakin seringlah istilah "pemeran korban" (playing victim) muncul di media massa. Istilah yang, mungkin, berasal dari film Rusia, Playing The Victim (2006), ini memang mendapat tempat bahkan habitat yang tepat di Indonesia.

Kegandrungan pada Kecengengan

Dalam realitas sehari-hari suguhan "belas kasihan" melalui dunia hiburan. Di televisi, misalnya. Acara-acara di televisi selalu meraup penilaian (rating) tinggi. 

Ada 10 besar dalam senarai penilaian (rating) acara televisi lokal edisi Januari 2018, yaitu Siapa Takut Jatuh Cinta, Anak Langit, Jodoh Wasiat Bapak, Dunia Terbalik, Pantura Hae Hae, Upin & Ipin, Ummi, Bikin Mewek, Adit Sopo Jarwo, dan Pleboy Jaman Now, yang di antaranya berisi adegan-adegan yang meminta "keharuan", "air mata", "belas kasihan", dan sejenisnya.    

Bahkan, hiburan impor yang berbumbu kecengengan pun laris manis di Indonesia. Contohnya sebagian drama Korea (drakor), di antaranya Page Turner, Please Come Back Mister, The Full Sun, You Who Came From The Stars, Gu Family Book, dan Marriage Contract.

Sementara di dunia musik dan lagu, nuansa kecengengan merana-pilu sempat digandrungi oleh banyak kalangan pada 1980-an. Hati yang Luka, Gelas-gelas Kaca, Penyesalan, Tiada Duka Lagi, dan lain-lain menguasai udara Indonesia.

Sampai akhirnya pada 24 Agustus 1988 atau tepat Hari Ulang Tahun ke-26 TVRI Menteri Penerangan (waktu itu) Harmoko melayangkan teguran pada produksi dan penayangan lagu-lagu cengeng. "Dalam keadaan patah semangat dan cengeng, sulit mengajak orang untuk bekerja keras," kata Harmoko.

Perintis Kecengengan Berpolitik

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline