Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Aku Ingin Menjadi Malam

Diperbarui: 6 Januari 2016   09:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sejak dua minggu Ayah menjalani opname, aku mengalami kesulitan menyelesaikan sebuah kisah bertema malam. Aku selalu mengganti judul, mengubah susunan alinea, menambah-mengurangi isi, dan entah bagaimana jadinya. Padahal, seperti juga malam ini, malam selalu memberiku kesempatan selapang-lapangnya untuk kuselami pikiranku sedalam-dalamnya, memunguti kata-kata yang mengendap sebanyak-banyaknya.

Di luar sana, selepas hujan deras sejak senja tadi, suasana dusun kami seolah hanya dihuni oleh hewan malam. Nyanyian kodok-kodok terus terdengar dari belakang rumah. Lebih semarak daripada serangga yang bertengger di dahan-dahan pohon.

“Bang...” Panggilan Lia terdengar lirih dari arah ambang pintu kamarku yang hanya bertutup kain lusuh, yang sering juga menjadi lap darurat.

“Tidurlah, Lia. Malam telah matang.” Aku tidak menoleh ke tempat adikku berdiri.

“Abang masih akan terus merebus bulan?”

“Ya, belum mendidih.”

 Ah, aku terusik oleh kehadiran dan panggilan adikku, ditambah ketika dia mengulang alasanku tempo hari ketika aku masih tekun menulis. Merebus bulan sampai mendidih kepalaku, berhenti menulis, dan tidur. Tetapi kehadirannya serta-merta menjadikan kata-kataku bersembunyi  dan entah lenyap ke mana jalannya.

“Ayah dan Bunda pulang jam berapa?”

“Belum ada kabar. Abang lagi kehabisan pulsa, belum bisa nanya ke Bunda. Kalau besok pulang, nanti kubangunkan. Tidurlah.”

Lia berbalik dari pintu dengan gerakan gontai menuju kamarnya. Di sana adiknya, Ria telah lelap. Entah bermimpi apakah dalam dekap malam yang matang.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline