Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Satu Cerita di Tahun Lama yang Sampai di Tahun Baru

Diperbarui: 3 Januari 2016   14:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku membuka jendela kamar yang menghadap ke timur, yang bersebelahan dengan halaman samping rumah tetangga, Pak Sarwanus. Sinar matahari pukul 07.30 langsung menyergapku dengan kehangatan yang belum seberapa.  Sinarnya pun menerabas ke kamarku. Terang tak terbendung.

Hoooooaheeeem... Aku menguap, menghela sisa kantuk yang menyelinap di kepala. Sesegera mungkin mengirup udara pagi untuk menghimpun seluruh nyawaku yang masih berkeliaran di alam antah-berantah.

Tadi malam kawan-kawan datang, menikmati kudapan dan minuman ringan dari pukul 19.00 sampai 23.00. Setelah membereskan piring-gelas kotor, membersihkan sampah dari kulit kacang dan membuangnya ke tempat sampah umum, barulah aku bisa tidur nyenyak. Dua malam ini, khususnya malam Tahun Baru, aku tidur agak larut, padahal paginya harus segera bangun.

Hoooooaheeeem... Lalu aku menggeleng-geleng kencang, dan melebarkan mata. Aku membalikkan badan, bergerak agak cepat ke arah pintu.

Sekarang sudah hari kedua Tahun Baru. Suasana hari raya masih terasa di rumah kami. Biasanya pukul 09.00 tamu lainnya akan berkunjung. Aku harus segera menyiapkan diri karena, siapa tahu, saudara-saudara dari jauh akan datang. Hanya aku laki-laki di rumah kami sejak meninggalnya Papa tiga tahun lalu.

Tahun baru! Tahun lama sudah berlalu, tahun baru sudah datang!  Aku bergegas ke luar kamar. Tidak ada suara siapa-siapa. Di ruang makan yang sekaligus ruang keluarga Mama sedang menikmati teh pagi seorang diri. Kakak dan adikku masih bermimpi di kamar masing-masing, mumpung libur akhir-awal tahun.

“Nanti kamu ke rumah Pak Sarwanus, ya?” Permintaan dari Mama seketika menembus kelambu pikiran dan benar-benar membuka mataku.

“Pak Sarwan hari raya jugakah, Ma?”

“Pak Sarwanus hari rayanya pas Natal. Tapi mainlah ke sana. ‘Kan, masih suasana Natal, Mun?”

Aku tidak berani menyahut lagi karena, biasanya, Mama akan menghardik, “Ada saja jawabanmu, Mun!” Aku juga riskan kalau sahutanku malah dianggap “tidak menghormati orangtua” alias anak durhaka.

Tapi, kenapa harus aku, sih? Kenapa bukannya Mama sendiri atau kakakku yang ke sana? Pertanyaan-pertanyaan itu mengiringi langkahku menuju kamar mandi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline