Ahok alias Basuki Tjahaja Poernama merupakan warga negara Indonesia keturunan Tionghoa (Cina) bersuku Hakka (Khek). Mantan Bupati Belitung Timur, anggota DPR, dan Wakil Gubernur DKI Jakarta tetapi kini menjadi Gubernur DKI Jakarta ini pun bukanlah orang awam dalam soal hitung-menghitung.
Sebagian besar warga negara Indonesia mengenal profesi warga keturunan Tionghoa, yaitu dagang. Sebagian wilayah Nusantara merupakan wilayah usaha warga Tionghoa tanpa perlu disebut “menguasai perdagangan”. Bahkan beberapa orang dalam kalangan ini terhitung sebagai konglomerat di Indonesia.
Selama ini tidak sedikit orang Indonesia ‘menghakimi’ bahwa orang Tionghoa itu berkarakter pelit (sekek, medit, ketol, dan lain sebagainya). Nilai uang sekecil apa pun dihitung seolah sedang menghitung kerugian yang banyak tetapi bisa diajak cincai dalam bisnis oleh segelintir orang Indonesia selain Tionghoa.
Sebagian orang Indonesia juga mengetahui bahwa para pedagang Tionghoa memiliki jalinan kerja sama dalam perdagangan. Segala informasi mengenai harga, apalagi naik-turun harga, atau barang baru secara cepat sampai ke kalangan mereka. Soal perubahan barang, jasa, dan harga, kalangan ini lebih cepat memperoleh informasi.
Sebagian orang Indonesia sudah melihat kiprah orang Tionghoa dalam kejayaan Indonesia, baik secara historis (zaman kolonial) melalui pemberontakan di beberapa daerah di Nusantara, prestasi olah raga, pendidikan, maupun sumbangsih lain-lainnya. Yang paling jelas adalah bulu tangkis, meski sempat pula tenis lapangan dengan bintangnya bernama Angelic Wijaya.
Di sisi lain, bukankah ada himbauan besar yang tertulis “Belajarlah sampai ke Negeri Cina (Tiongkok)”? Mengapa ada himbauan besar seamacam itu? Kalau di sekitar tempat tinggal sudah pula terdapat beberapa orang Cina (Tionghoa) dan tidak mempunyai uang untuk berangkat ke Negeri Cina dan belajar di sana, mengapa tidak belajar dari orang-orang Cina (Tionghoa) terdekat?
Nah, ketika Ahok menjadi orang nomor satu di Ibukota Indonesia alias DKI Jakarta dan sangat penuh perhitungan soal APBD apalagi sampai muncul nilai Rp.12,1 trilyun yang tidak jelas juntrungan-nya, tiba-tiba Indonesia geger, khususnya DKI Jakarta. Orang-orang DPRD DKI Jakarta langsung ‘kebakaran kursi’, angkat suara dengan “Hak Angket”, bahkan dengan keji ‘menghina’ seorang Ahok sekaligus etnisnya.
Ya, terlambat! Orang-orang yang terlena dengan ‘permainan sulap’ angka dalam anggaran selama sekian puluh tahun, memang bisa secara mudah-mendadak mengalami ‘kebakaran kursi’ ketika orang semacam Ahok menjadi orang nomor satu di suatu daerah. Justru ‘kebakaran kursi’ itu secara jelas mempertontonkan realitas bahwa para wakil rakyat itu selama ini hanya ‘mengkhianati’ rakyat melalui ‘sulapan’ angka dalam anggaran.
Sementara Ahok bukanlah orang baru alias awam alias buta dalam hal kebijakan anggaran daerah. Ahok bukanlah orang baru dalam kalangan pembuat kebijakan. Ahok bukanlah orang baru dalam tatanan pergaulan orang Indonesia. Ahok mampu menghitung suatu anggaran yang logis-berakuntabilitas mumpuni ataukah anggaran bikinan Jin Tomang.
Lantas soal berhitung itu, Ko Ahok kok dilawan? Bagaimana sebagian orang Indonesia bisa mendadak terkena amnesia pada setiap hal berurusan dengan uang? Haiya, ngai mo ti wo, Ko Ahok!
*******
Kebun Karya, 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H