Pro-kontra soal kepala daerah dipilih melalui DPRD akhir-akhir ini justru kian menguatkan kebangkitan arwah ORBA. Dukun-dukun Golkar dan Gerindra serta koalisi permanen memang mengalami ‘kerasukan’ permanen sehingga demokrasi bisa menjadi ‘demok trasi’ (megang terasi) belaka, dimana rakyat kehilangan ruang ‘bersuara’.
Koalisi Merah Putih memang aslinya begitu. Prabowo itu aslinya Golkar. Apalagi Akbar Tanjung. Kalau awal reformasi terdengar santer bahwa Akbar Tanjung adalah ‘Golkarer Putih’, sejatinya hanya hoax cuih. Kalau Prabowo dan laskar koalisi permanennya ngotot untuk Pilkada tidak langsung alias melalui DPRD, tidak lebih gara-gara panik, terlebih karier politik Prabowo sudah habis pasca gugatan di MK belum lama ini. Gara-gara panik itulah, muncul tabiat aslinya, yang mengidap ‘ORBA Permanen’.
Kekhawatiran sebagian rakyat atas pencapresan Prabowo, terkait soal kebangkitan ORBA-Otoriterisme-Militerisme memanglah benar adanya. Firasat politik rakyat itu tidak bisa dipungkiri. Begitu pula mengenai Basuki “Ahok” Cahaya Purnama yang mendapat cercaan orang-orang Gerindra, adalah bukti bahwa firasat rakyat itu benar adanya.
Ya, pasca Pilpres 2014 karier politik Akbar Tanjung dan Prabowo sudah habis di mata sebagian besar rakyat Indonesia. Apalagi Ical yang terlebih dulu ‘tenggelam’ dalam lumpur Lapindo beserta boneka kesayangannya. Habisnya pun permanen. Ketiganya menyadari bahwa mereka tidak akan pernah bisa sampai sebagai pemimpin masyarakat sipil melalui Pilkada apalagi Pilpres. Rakyat tidak lagi buta berita-fakta. Kemajuan teknologi informasi-komunikasi telah andil sepenuhnya dalam kehidupan berbangsa-bernegara.
Orang-orang yang berada dalam koalisi permanen memang mengalami ‘sakit’ permanen pasca kekalahan Pilpres 2014. Rakyat memang tidak sedang bermimpi memilih malaikat dalam Pilkada ataupun Pilpres tetapi lebih logis-realistis bahwa lebih baik memilih manusia ‘sehat’ daripada manusia ‘sakit’ bahkan ‘sakit’ permanen.
Namun, orang-orang dalam koalisi permanen pun menyadari bahwa rakyat sudah bukan lagi boneka parpol dan para politikus. Mau-tidak mau orang-orang itu harus menggunakan cara lain untuk bisa ‘berkuasa’ setelah menuai kekalahan telak dalam pertandingan Pilpres 2014. Kalaupun cara itu tidak populis alias mengingkari kedaulatan rakyat, tetap dilakukan demi menggapai kursi utama, minimal tingkat daerah.
Atas tindakan ngotot soal Pilkada melalui mekanisme DPRD itu, tidaklah mustahil menggiring sebagian rakyat mengisi daftar anggota Golput. Persoalan anggota Dewan yang masih suka bolos atau mendengkur dalam ruang sidang serta kegemaran jalan-jalan, tetap menjadi kabar buruk yang menguatkan persepsi rakyat mengenai kinerja anggota Dewan dan pilihan “memilih tidak memilih”. Dan, KPU harus kembali menyurvei persoalan jumlah golputer ini, jika beritikad baik dalam dinamika demokrasi Indonesia.
Apa boleh buat. Kenyataan hidup bersosial-politik di NKRI ini memang mengalami pro-kontra, apalagi ‘hanya’ soal ‘kembali’ ke mekanisme pemilihan kepala daerah. ORBA sudah bangkit dari kuburnya akibat kepanikan para kader sejatinya. Tidak ada kebenaran mengenai kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia, melainkan kebenaran hanya demi kekuasaan sekaligus kerakusan parpol dan para pentolannya (tidak perlu menyebutkan para ‘pentilannya’).
*******
Panggung Renung, 2014
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H