Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Wahyono

TERVERIFIKASI

Penganggur

Sirine Lepas Malam

Diperbarui: 17 Juni 2015   10:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Mimpi indah lagu dengkur berselimut sutera dirobek sirine-sirine menyisir aspal mulus tembok raksasa beton menjulang baliho iklan mobil mewah hiasan badan langsing jelita. Sirine-sirine panjang, robek-robek memanjang, menyela semburat merah menyaingi liuk pijar obor pertamina. Gincu-gincu saga redup menggoyang, degup dinding-dinding malam masih mengganyang kencang belum jua kenyang.

Sirine-sirine meradang menendang taman-taman bidadari-bidadari busa-busa emas-permata sekitar seng-seng. Dengkur tersedak lampu legam. Selimut tersulut suara bersahutan. Nyamuk menerobos mengamuk dari persembunyian senyap menyerbu kuping-kuping. Sirine-sirine melengking-lengking. Nyenyak terhenyak dalam pelbagai tanya tentang tempat. Kemarahan merah tidak mengenal teori fisika dan filsafat. Tidak ada buku untuk membendung kobarnya. Beruang madu dan enggang pun membeku dalam hutan sawit.

Merah delima menyala nyalang menjilati pembuluh jantung kota. Hitam menghantam mata seperempat ranjang terpuruk dalam paru bercampur aroma pandan serpihan mimpi indah lagu dengkur berselimut sutera robek. Selokan-selokan busuk pipa-pipa peralon besi menggiring tikus-tikus gendut mencari jalan lengang. Sobekan-sobekan bungkus belanja berminyak berceceran sayur-mayur menorehkan jejak-jejak sandal sepatu sebelum sirine-sirine keluar tangki.

Langit tidak luntur. Hujan tidak tumpah dari penampungan. Kelelawar tidak kencing beramai-ramai. Cicak bergegas mengepotkan ekornya dari cengkraman cakar taring kucing ke balik tritisan miring bertetesan. Laba-laba memberi aba-aba untuk memindahkan jala-jalanya. Sirine-sirine kerepotan menyemprotkan sisa semburat bintang rembulan. Kota kebanjiran kata kenapa ketika merah memerintahkan keranda-keranda peti-peti berlarian ke tempat peristiwa.

*******

Panggung Renung, 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline