Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Maran

Guru Pelosok

Aku yang Diperkenalkan Tuhan Denganmu: Sebuah Suara yang Tersekat di Udara

Diperbarui: 2 Agustus 2023   22:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Sebab Tuhan bikin kita ketemu.

Salam cinta dan rindu selalu.

Aku tak akan memulai dengan menyapamu, apa kabar? Karena aku tahu engkau pasti baik-baik saja, itu salah satu nikmat dari semua nikmat yang Tuhan berikan. Harapku dalam keadaan apapun terus bersyukur dan berterima kasih atas karunia itu. 

Meriam Belina melantunkan lagu ciptaan Pance Pondang "Mulanya Biasa Saja" yang mengalun merdu di alun-alun kampus 2015 silam. Suara-suara merdu turut melantunkan tembang nostalgia Iwal Fals "kemesraan janganlah cepat berlalu" setiap pukul 18.00 WITA di halaman kampus saat kita saling bergandengan tangan menggapai cita dengan segala keterbatasan yang ada. Iya, masa di mana kita saling layangkan kabar buat nirwana dengan doa dan harap menembus hamburan langit Kota Kasih. 

Semua tak semudah dibayangkan. Membayangkan semuanya seperti terjerat dalam ruang hampa tetapi bukan bagian pilu. Langkah bersama kita lalui tatkala bersama merajut asa dalam satu mimpi. Sama-sama menginginkan genggaman masa depan yang baik. Kala itu, kau masih semester awal dan aku mendekati masa sidang proposal. Seperti tradisi, mahasiswa baru wajib memberikan buku perkenalan untuk diisi. Saat itulah kebersamaan kita dimulai.

Setelah bertahun-tahun kita harus berpisah lantaran aku telah mengakhiri perjuanganku dan pergi mewujudkan setiaku dalam bakti, sementara kau masih terus meniti tangga menuju puncak perjuangan. Selama bertahun-tahun itu pula tidak ada komunikasi antara kita. Kita serasa hidup di dunia yang berbeda. Di dunia online pun kita seperti terpenjara oleh jarak hingga komunikasi tersekat oleh batas-batas maya.

Apa mau dikata, kehidupan menuntut sisi lain dari kita. Kehidupan menuntut kita untuk selalu mencari jalan rumit menuju hidup yang baik. Panorama hidup tak bisa ditebak. Pergolakan waktu menjadi target yang menentukan apa kaki harus melangkah mencapai titik harapan atau terkapar sia-sia menjerit kesakitan bertalu. Waktu tak bisa ditebak. Ia seakan menuntunku ke kotamu. Ini adalah jawaban dari niat tulus untuk mendedikasikan diri bagi negeri. Di tanah Lembata. Di sini aku seorang asing. Aku baru pertama kali diangkat menjadi guru, setelah mengikuti berbagai tahapan seleksi. Orang-orang di kotamu sangat ramah. Tangan kasih mereka menopangku dalam berbagai situasi.

Perjuanganmu membuahkan hasil. Harapan dan anganmu tercapai. Perjuanganmu mengisyaratkan bahwa, mimpi akan tercapai dalam hidup orang-orang yang percaya pada proses dan waktu. Aku percaya itu. Kita sepakat. Karena proses itu, pada Juli lalu kau diterima menjadi guru di kotamu, di salah satu daerah sejuk nan dingin, dipenuhi kabut-kabu putih yang hanya berjarak tiga kampung dari tempat tugasku. 

Di awal tahun pembelajaran seperti ini, tentu banyak rutinitas dilakukan yang akhirnya mempertemukan kembali kita dalam kegiatan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) setelah sekian tahun kita tidak bersua. Rasanya seperti meletakkan pecahan hari untuk disusun kembali. Tak ada kehidupan yang ragu. Tak ada pula sepasang kesepian. Hanya sepasang senyum hangatmu tempat cinta kembali terjatuh dalam dekapan hangat menyudahi kisah yang telah samar itu.

Sebab Tuhan bikin kita ketemu. Di antara kita selalu mendoakan kebaikan. Mungkin tak akan pernah menjadi abadi, namun aku akan menjadi doa malam bagimu dan kau memejam tenteram. Aku yang diperkenalkan Tuhan denganmu, sebuah suara yang tak akan lagi tersekat diudara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline