Literasi bukan hanya sekadar jargon kosong yang didengungkan. Literasi sudah menjadi sebaris kata yang menggelinding merasuk generasi kita.
Semangat literasi semestinya terus ditingkatkan karena literasi bukan urusan merayu agar dengan kobaran nafsu yang menggebu mereka terlihat sedikit lebih akrab dengan kata itu.
Sejatinya literasi perlu dijadikan sebagai budaya agar mereka lebih berempati, merefleksikan pengalaman dan diri sehingga muncul apresiasi terhadap apa yang dilakukan.
Tanpa kita sadari kegiatan literasi sudah ditanamkan sejak kecil. Misalnya, seorang ibu menceritakan dongeng menemani anaknya tidur.
Hal demikian tidak hanya merupakan hiburan hingga anaknya terlelap dalam mimpi, namun dapat mendorong minat baca anak. Atau seorang ibu memberikan uang 20.000 rupiah kepada anaknya untuk membeli 1 kg gula pasir.
Setelah membeli, anak itu memberi uang kembalian Rp. 7.000 kepada ibunya. Ibu itu bertanya, berapa harga gula pasir ini? Si anak lalu berpikir dan memberikan jawaban bahwa harga gula pasir ini adalah Rp. 13.000.
Ini adalah contoh nyata praktik literasi yang kita temukan di kalangan keluarga kita yang sejatinya menyentuh langsung prinsip literasi yakni literasi adalah adalah kecakapan hidup.
Literasi bukan hanya tentang keterampilan membaca. Lebih dari itu, literasi berkaitan dengan kompetensi berpikir dan memproses informasi.
Sering kita menitiberatkan literasi pada minat baca sehingga terkesan melabelkan seseorang bahwa terlahir dengan tidak mempunyai minat membaca padahal minat membaca itu dimiliki setiap anak, budaya membacalah yang masih kurang.