Dunia sekarang semuanya berubah. Lihat saja tingkah laku anak sekarang. Meskipun masih sekolah dasar (SD) sudah mulai mencicipi pacaran dengan porsi yang berbeda. Mereka tidak lagi bermain di lapangan kosong melainkan dekatan-dekatan untuk berduaan di depan umum. Apalagi pelajar SMP yang notabene sebagai masa transisi dari anak-anak ke remaja. Pada masa ini mereka merasa kebutuhan akan sosok pacar menjadi sangat penting. Kehadiran pacar menurut mereka menjadi poin istimewa dikala sedang galau, sedih, tidak bersemangat, tidak ada motivasi untuk melakukan sesuatu atau jauh dari kata bahagia.
Jika ditanya apa sih motivasi kamu untuk pacaran? Tentu kebanyakan mereka akan menjawab buat penyemangat belajar, penyemangat sekolah, membantu kerja PR, dan jawaban positif lainnya. Yakin, apakah benar dalam kenyataannya seperti itu? Tanyakan saja pada rumput yang bergoyang.
Seperti layaknya candu, pacaran sekarang mengandung risiko yang dipenuhi bumbu yang merusak moral para remaja. Banyak hal yang harus diungkap di balik misteri pacaran ini. Pertama, pelecehan fisik. Hal ini sering kita jumpai, kita dengar dalam situasi real masyarakat kita. "Buktiin ya kalau kamu cinta aku, kalau tidak kita putus". Kalimat ini adalah jurus yang digunakan kaum cowok untuk menantang si cewek, jika si cewek merasa tertantang maka ia akan menyerahkan semuanya. Lalu mulai berdalil bahwa itu sudah menjadi pengorbanan yang harus dibuktikan kalau mengaku cinta sama pacar. Mereka menganggap bahwa hal seperti ini wajar dilakukan sebagai sarana mengekspresikan cinta saat pacaran.
Kedua, kekerasan nonfisik. Ini sering tidak disadari oleh para remaja yang sedang dimabuk cinta monyet. Adanya tekanan dari kelompok pertemanan juga membuat mereka malu kalo selalu berada sendiri. Mereka sering tidak jujur dan apa adanya, mereka lebih posesive, memaksa diri untuk selalu jadi terbaik. Hal demikian karena adanya rasa takut kehilangan. Kendati demikian sering kali ada rasa kecurigaan, sehingga sering terjerumus ke dalam pacaran yang salah.
Lalu, bagaimana peran orang tua dalam mengatasi situasi ini? Memahami dunia remaja tak semudah membalikan telapak tangan. Orang tua menjadi penghibur setia, pendorong semangat anak ketika emosinya terguncang. Ingatlah bahwa anak membutuhkan sentuhan dan belaian dari orang tua. Sentuhan orang tua jauh lebih berarti dari pada sekadar nasihat. Sentuhan yang hangat dari orang tua dapat menumbuhkan rasa percaya diri anak.
Orang tua perlu memberikan pemahaman dan batasan yang jelas tentang yang baik dan tidak baik dalam kaitan dengan teman lawan jenis. Ada kalanya orang tua mesti memposisikan diri sejajar dengan anak. Orang tua harus menjadi teman, bukan satpam untuk anak. Memang menjaga anak adalah tugas orang tua, tetapi memberikan motivasi, memberi rasa nyaman, membagi cerita yang lebih bermakna, mendidik anak menghargai orang lain, berikan anak pengalaman berkesan di rumah menjadi bekal anak saat berada di luar rumah. Sebab melalui pengalaman-pengalaman hidup seperti itu anak akan menemukan nilai dalam diri atau sekitar dirinya, memahami dan membentuk dan berkomitmen untuk menggapainya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H