Lihat ke Halaman Asli

Quo Vadis Homine?

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Ego sum via et veritas et vita nemo venit ad Patrem nisi per Me

"Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku."

Suatu komunitas, apakah itu suku kecil atau negara besar, pasti memiliki sebuah undang-undang dasar yang menjadi landasan hidup dan tujuan bersama seluruh warganya. Tanpa itu kehidupan sosial pada komunitas tersebut akan mengalami kekacauan karena yang berlaku adalah hukum rimba: siapa kuat dia yang menang dan tetap hidup. Juga amat sulit dibayangkan jika sebuah komunitas memiliki dua atau lebih undang-undang dasar. Akan muncul benturan dan konflik, entah besar atau kecil, akibat dari perjumpaan nilai-nilai dan tujuan hidup yang berbeda di dalam satu komunitas.

Dalam batas-batas tertentu perbedaan itu bisa diselesaikan dengan upaya toleransi dan saling menghargai. Jika perbedaan itu hanya menyangkut masalah gaya hidup, warna kulit, bahasa, atau aliran musik tentunya masih dapat dan harus ditoleransi. Perbedaan-perbedaan tersebut harus disikapi secara positif karena justru dapat memperkaya kemanusiaan.

Tapi harus disadari juga bahwa ada perbedaan yang sulit untuk ditoleransi tanpa mempengaruhi perkembangan peradaban manusia itu sendiri. Misalnya perbedaan yang menyangkut konsep ketuhana, nilai-nilai kemanusiaan dan visi peradaban. Cepat atau lambat perbedaaan dalam hal yang mendasar seperti ini akan menimbulkan konflik. Dalam hal ini toleransi bukanlah solusi karena toleransi sama sekali tidak menyentuh akar permasalahan. Toleransi hanya merupakan solusi sementara. Dan karena konsep ketuhanan, nilai-nilai kemanusiaan dan visi peradaban itu terkandung dalam agama, maka mau tidak mau ini juga menyangkut masalah perbedaan agama.

Sejarah mencatat konflik yang berakar pada perbedaan agama ini sudah ada sejak lama. Tapi selama itu pula tidak pernah ada solusi yang tuntas. Akibatnya persoalan ini selalu menjadi bom-waktu yang siap meledak setiap saat. Pada waktunya dari masalah perbedaan agama ini bisa muncul konflik yang besar yang tidak mampu diakomodasi lagi oleh sekedar toleransi atau bahkan perjanjian damai sekalipun. Diperlukan suatu solusi yang lebih mendasar dan radikal.

Globalisasi Dan Benturan Peradaban

Masalah perbedaan agama ini menjadi semakin penting untuk dicarikan solusinya seiring dengan semakin niscayanya globalisasi. Manusia yang beberapa dekade lalu masih bisa mengisolasi diri dalam komunitas-komunitas tertentu sekarang harus menghadapi kenyataan semakin bersatunya seluruh umat manusia. Sekat-sekat geografis dan budaya tidak bisa lagi bertahan dari gempuran globalisasi. Manusia semakin lama menjadi satu komunitas global. Lalu bagaimanakah menyelesaikan masalah yang mendasar seperti perbedaan agama pada satu komunitas manusia global?

Ini bukan masalah kecil yang bisa diselesaikan dengan toleransi karena bagaimanapun toleransi juga ada batasnya. Perbedaan agama tidak sama dengan perbedaan bahasa, suku bangsa, atau warna kulit. Perbedaan agama menyangkut masalah yang jauh lebih mendasar seperti relasi dengan Tuhan Sang Pencipta, nilai-nilai kemanusiaan, dan visi peradaban. Persoalan fundamental ini yang membuat perbedaan agama menjadi sangat penting untuk dicarikan jalan keluar.

Lihat apa yang terjadi pada komunitas Islam sunni dan Islam syiah di Timur Tengah. Mereka sudah tidak menyelesaikan perbedaan ini dengan toleransi, tapi dengan saling bunuh. Fenomena seperti ini juga ada di berbagai belahan dunia lainnya pada komunitas-komunitas yang berbeda. Ini mungkin yang dimaksudkan oleh Samuel Huntington ketika dia berbicara soal benturan peradaban (clash of civilizations). Ini adalah persoalan besar yang harus diselesaikan sebelum peradaban dapat melangkah lebih jauh.

Satu Agama Universal

Mungkin ada yang mengatakan bahwa kultur di Indonesia berbeda dengan tempat lain. Jangan disamakan... Di Indonesia sikap toleransi sangat besar dan sanggup mengakomodasi segala perbedaan tersebut. Saya tidak menyangkal bahwa sejauh ini perbedaan yang ada bisa diakomodasi oleh sikap toleransi. Tapi sampai kapan? Ada bahaya sangat besar jika kita berpuas diri dengan kemampuan bangsa ini untuk bertoleransi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline