Lihat ke Halaman Asli

Visi Peradaban Global dan Kultur Kematian

Diperbarui: 18 Juni 2015   03:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Veniat regnum Tuum
Fiat voluntas Tua
Sicut in caelo et in terra

Globalisasi adalah suatu keniscayaan. Sekat-sekat geografis maupun kultur semakin lama semakin menipis dan manusia makin menyadari dirinya adalah bagian dari satu umat manusia yang mendiami satu bumi yang sama dengan semua persoalan yang menjadi masalah bersama. Itu adalah arah sejarah yang tidak bisa dihentikan siapapun, suka atau tidak suka.

Maka sebuah pertanyaan besar muncul: apakah umat manusia yang satu ini punya suatu visi yang menjadi arah gerak perubahan peradaban manusia? Apakah ada sebuah visi peradaban yang bisa disepakati bersama oleh semua manusia? Jika ini tidak ada maka yang akan terjadi adalah kekacauan.

Visi Peradaban versi 'Club Of Rome'

Club of Rome, sebuah organisasi nirlaba yang terdiri dari banyak pakar independen yang berupaya menjadi 'think-tank'untuk memikirkan arah peradaban dunia pada tahun 1972 mengeluarkan sebuah buku berjudul'Limits To Growth'. Buku ini merupakan hasil studi dari beberapa ilmuwan MIT(Dennis Meadows, Jorgen Randers, Danella Meadows, William Behrens)yang mempelajari persoalan-persoalan penting yang terjadi di dunia seperti masalah pertumbuhan populasi, persoalan ketersediaan energi, pertumbuhan kapital, polusi, kerusakan lingkungan, dan dampaknya pada peradaban manusia di masa depan.

Salah satu skenario yang diungkapkan dalam buku tersebut menyatakan bahwa apabila pertumbuhan populasi dunia terus meningkat sementara ketersediaan energi makin menipis dan kerusakan lingkungan makin parah, akan berdampak pada krisis pangan dunia. Ini sebuah gambaran suram masa depan peradaban dunia. Jadi kebutuhan manusia untuk tetap eksis di masa depanadalah persoalan bersama yang harus dicarikan jalan keluar. Itu adalah visi peradaban manusia menurut versi Club of Rome.

Seolah sepakat dengan visi peradaban tersebut, dimana-mana muncul kesadaran untuk megendalikan populasi, menghemat penggunaan BBM dan mengembangkan energi-energi alternatif yang terbarukan, upaya-upaya penyelamatan lingkungan, dan banyak lagi. Tujuannya satu: memastikan bahwa umat manusia di masa depanmasih tetap dapat bertahan eksisdi bumi.

Semua upaya itu tampak bagus sampai kita menyadari bahwa suatu saat, jika cara berpikir seperti ini yang digunakan, manusia akan terpaksa mengambil keputusan mengerikan sebagai solusi: de-populasiumat manusia.

Kultur Kematian Sebagai Solusi

Masa depan umat manusia menurut analisis 'Club of Rome' begitu suram. Ketersediaan bahan bakar fosil makin terbatas sementara energi alternatif belum mampu memenuhi kebutuhan ditambah kerusakan lingkungan yang makin parah karena eksplorasi yang terus-menerus dilakukan manusia. Belum lagi persoalan 'over-fishing' yang menyebabkan ketersediaan ikan semakin sedikit sementara industri perikanan terus berusaha menaikkan produksi untuk memenuhi kebutuhan. Lalu ada juga 'over-farming' di daratan, krisis air bersih, krisis pemanasan global, dan masih banyak lagi.

Akibatnya, pengendalian populasi menjadi alternatif solusi terbaik untuk mengatasi masalah ini. Pengendalian populasi tidak cukup dilakukan dengan mempertahankan tingkat populasi yang ada, tapi dengan menguranginya secara sistematis, kalau perlu secara drastis.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline