Lihat ke Halaman Asli

Singkirkan Smartphone Sejenak, Menyambut Kelahiran Yesus dalam Keheningan

Diperbarui: 23 Desember 2024   19:22

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Natal adalah momen yang memanggil kita untuk merenungkan makna kelahiran Sang Juruselamat, sebagaimana terlihat dalam keheningan kandang Natal. Maria dan Yosef menyaksikan keajaiban luar biasa: bayi Yesus, Allah yang menjadi manusia. Kehadiran mereka melambangkan kekhidmatan dan kerendahan hati, dengan Maria menyimpan segala perkara di dalam hatinya dan Yosef, meskipun tak bersuara, setia melindungi keluarganya. Namun, keheningan ini begitu kontras dengan dunia modern yang penuh kebisingan, terutama dari gangguan digital seperti smartphone yang sering mengisi waktu dengan notifikasi dan media sosial. Kisah mereka mengingatkan kita untuk berhenti sejenak, menyingkirkan gangguan, dan menyambut momen suci Natal dengan hati yang penuh perhatian, hadir sepenuhnya bagi Allah dan sesama.

Keheningan Maria dan Yosef

Keheningan memiliki makna yang mendalam dalam kisah kelahiran Yesus, sebagaimana terlihat dalam kehidupan Maria dan Yosef. Dalam tradisi iman Katolik, keheningan mereka tidak hanya mencerminkan kebajikan pribadi, tetapi juga menjadi contoh bagaimana manusia dapat membuka hati untuk mendengarkan kehendak Allah.

Maria: Merenungkan dan menyimpan segala sesuatu di dalam hatinya. Maria adalah teladan iman yang merenungkan misteri kehidupan dengan penuh kasih, seperti tertulis dalam Lukas 2:19 bahwa ia menyimpan dan merenungkan segala perkara dalam hatinya. Hal ini menunjukkan bagaimana Maria tidak terburu-buru memahami atau menghakimi pengalaman-pengalaman luar biasa yang dialaminya, tetapi memilih untuk menyimpan semuanya dalam hati dan merenungkannya dalam keheningan. Paus Fransiskus dalam Admirabile Signum (2019) menekankan keheningan Maria sebagai ekspresi keterbukaan terhadap misteri Allah. Maria, melalui keheningannya, mengajarkan pentingnya kepekaan untuk melihat karya Tuhan yang bekerja di balik peristiwa-peristiwa hidup. Sementara Christopher West dalam Theology of the Body Explained (2007) menggambarkannya sebagai penerimaan radikal terhadap kehendak Allah, menjadikan dirinya "bejana" bagi karya keselamatan-Nya.

Yosef: Ketaatan yang terwujud dalam tindakan. Yosef, meski tidak pernah berbicara dalam Kitab Suci, menunjukkan kedalaman imannya melalui keheningan dan tindakan. Ia mendengarkan kehendak Allah dalam mimpi (Mat 1:20-24; 2:13-14) dan taat menjalankannya tanpa ragu. Paus Benediktus XVI dalam Jesus of Nazareth: The Infancy Narratives (2012) menyebut Yosef sebagai "orang benar" yang membuktikan ketaatan melalui tindakan, sementara Paus Yohanes Paulus II dalam Redemptoris Custos (1989) menggambarkannya sebagai "ikon ketaatan yang sempurna terhadap Allah." Keheningan Yosef menjadi teladan bahwa tindakan berbicara lebih kuat daripada kata-kata.

Keheningan: Cara mendengarkan kehendak Allah dan merenungkan makna kehidupan. Keheningan Maria dan Yosef menjadi teladan universal dalam mendengarkan Allah di tengah kebisingan dunia modern. Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013) menegaskan pentingnya keheningan untuk mendengar suara Roh Kudus, sementara Thomas Merton dalam Thoughts in Solitude (1958) menyebut keheningan sebagai rahmat untuk merenungkan makna hidup. Melalui diam, Maria dan Yosef mendengarkan, merenung, dan bertindak sesuai kehendak Allah, mengingatkan kita untuk menenangkan hati dan membuka diri pada panggilan Tuhan di tengah gangguan dunia.

Makna Keheningan di Tengah Dunia yang Bising

Keheningan, yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, kini semakin sulit ditemukan di tengah hiruk-pikuk dunia modern. Kehadiran teknologi dan media digital telah membawa kita pada kebiasaan yang bising, baik secara fisik maupun mental, sehingga seni keheningan sebagai ruang untuk merenung dan mendengarkan mulai pudar. Namun, tradisi iman Kristiani, terutama melalui refleksi kelahiran Yesus, menekankan keheningan sebagai jalan menuju pemahaman akan makna hidup dan kehadiran Allah.

Dunia modern dipenuhi suara notifikasi, media sosial, dan kebutuhan untuk terus aktif. Kebisingan dari notifikasi dan media sosial dalam kehidupan sehari-hari sering mengabaikan kebutuhan spiritual kita. Paus Benediktus XVI dalam Message for the 45th World Communications Day (2011) menyatakan bahwa dunia yang penuh informasi sering kehilangan kebijaksanaan, dan koneksi digital justru memutus hubungan manusiawi. Ketergantungan pada teknologi menciptakan tekanan untuk terus aktif, sehingga kita kehilangan momen untuk berhenti, merenung, dan mendengarkan suara hati.

Kehilangan seni keheningan, ketidakmampuan untuk berhenti dan mendengarkan. Kehilangan seni keheningan akibat gaya hidup modern mengurangi kemampuan kita mendengar suara Roh Kudus, seperti diingatkan Paus Fransiskus dalam Evangelii Gaudium (2013). Henri Nouwen dalam The Way of the Heart (1981) menegaskan bahwa keheningan adalah ruang untuk bertemu Tuhan dan memahami kehadiran-Nya, sekaligus sarana untuk mendengarkan sesama dengan perhatian penuh, memperdalam hubungan antarmanusia.

Kelahiran Yesus, undangan untuk memandang misteri kehidupan dengan keheningan dan rasa kagum. Paus Fransiskus dalam Admirabile Signum (2019) mengajak kita merenungkan misteri kelahiran Yesus di kandang Natal melalui keheningan dan rasa kagum, sebagai ruang untuk menghentikan hiruk-pikuk dunia dan memandang keajaiban Allah yang menjadi manusia. Kehadiran Maria dan Yosef di kandang Natal menjadi simbol keheningan penuh makna, mengajarkan bahwa dalam diam, kita dapat mengenali kehadiran dan kehendak Allah. Kardinal Robert Sarah dalam The Power of Silence (2017) menegaskan bahwa hanya keheningan yang mampu memulihkan hubungan manusia dengan Tuhan di tengah dunia yang bising.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline