Lihat ke Halaman Asli

Hak Anak, Hak Kita: Mengatasi Krisis Kemanusiaan Anak

Diperbarui: 8 Desember 2024   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Hak anak adalah bagian tak terpisahkan dari Hak Asasi Manusia (HAM), yang menjamin mereka tumbuh dalam lingkungan aman, sehat, dan mendukung potensi secara maksimal, sebagaimana diatur dalam Deklarasi Universal HAM (1948) dan Konvensi Hak-Hak Anak (1989). Namun, pelanggaran hak anak masih marak, seperti kurangnya akses pendidikan akibat kemiskinan atau konflik, eksploitasi ekonomi, kekerasan, dan minimnya perawatan kesehatan, yang membuat anak rentan terhadap gizi buruk dan kematian dini. Memperingati Hari HAM setiap 10 Desember menjadi pengingat bahwa tanggung jawab melindungi hak anak adalah tugas bersama---melibatkan pemerintah, keluarga, masyarakat, dan komunitas global melalui pendekatan holistik untuk memastikan anak sebagai harapan masa depan dapat menikmati haknya secara utuh.

Hak Asasi Anak dalam Perspektif Universal

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), diadopsi pada 10 Desember 1948, menjadi fondasi perlindungan HAM global, dengan Pasal 1 menegaskan bahwa semua manusia memiliki martabat dan hak yang sama. Meski tidak secara khusus menyebut anak-anak, semangat DUHAM mengilhami perlindungan khusus bagi mereka, termasuk Pasal 25 ayat 2 yang memberikan hak perawatan dan bantuan khusus bagi ibu dan anak. Eleanor Roosevelt (1948) menekankan bahwa hak asasi harus mencakup semua individu, termasuk yang paling rentan.

Langkah besar dalam perlindungan anak diwujudkan melalui Konvensi Hak-Hak Anak (CRC), diadopsi pada 20 November 1989. Konvensi ini mengakui anak sebagai individu dengan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. CRC menjadi instrumen hukum internasional pertama yang secara spesifik melindungi anak-anak dan mendorong negara-negara untuk mengambil tindakan terhadap kekerasan dan eksploitasi anak.

CRC menetapkan empat prinsip utama: non-diskriminasi, kepentingan terbaik anak, hak untuk hidup dan berkembang, serta hak partisipasi. Semua keputusan terkait anak harus mengutamakan kepentingan terbaik mereka, dan negara memiliki tanggung jawab memastikan kelangsungan hidup, perkembangan optimal, dan perlindungan dari kekerasan. Anak-anak juga berhak menyuarakan pendapat mereka tentang hal-hal yang memengaruhi kehidupan mereka.

Hak anak mencakup hidup, tumbuh, perlindungan, dan partisipasi. Hak untuk hidup melibatkan perlindungan dari ancaman seperti malnutrisi dan kekerasan, sebagaimana ditegaskan oleh Paus Yohanes Paulus II dalam ensiklik Evangelium Vitae (1995). Hak untuk tumbuh mencakup akses terhadap pendidikan dan kesehatan, yang dianggap penting oleh Paus Fransiskus sebagai tanggung jawab moral global. Perlindungan dan partisipasi adalah hak mendasar anak. Anak-anak harus dilindungi dari semua bentuk kekerasan dan eksploitasi, sementara hak partisipasi memastikan mereka dapat menyuarakan pendapat, mencerminkan penghormatan terhadap martabat manusia. Perlindungan hak anak merupakan upaya kolektif untuk membangun masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. 

Potret Krisis Kemanusiaan Anak di Dunia

Hak anak sering dilanggar di berbagai negara akibat konflik, kemiskinan, dan lemahnya penegakan hukum. Bentuk utama pelanggaran ini meliputi kekerasan fisik dan emosional, perdagangan anak, serta keterlibatan anak dalam kerja paksa, konflik bersenjata, dan eksploitasi seksual.

Kekerasan terhadap anak mencakup pelecehan fisik, kekerasan domestik, hingga penelantaran emosional. UNICEF dalam A Familiar Face: Violence in the Lives of Children and Adolescents (2017)  melaporkan bahwa sekitar 300 juta anak usia 2-4 tahun mengalami kekerasan oleh pengasuh mereka. Paus Fransiskus dalam Amoris Laetitia (2016) mengutuk kekerasan ini sebagai pelanggaran martabat manusia, menegaskan bahwa tidak ada alasan yang dapat membenarkan tindakan tersebut.

Perdagangan anak melibatkan eksploitasi untuk kerja paksa, prostitusi, dan perdagangan organ. ILO dalam Global Estimates of Child Labour (2017) memperkirakan lebih dari 1 juta anak menjadi korban perdagangan manusia setiap tahun. Di Asia Tenggara, jaringan kriminal sering memperdagangkan anak-anak untuk tujuan eksploitasi seksual dan buruh paksa.

Konflik bersenjata memaksa ribuan anak menjadi tentara atau korban perang. Laporan PBB UN Report on Children and Armed Conflict (2021) mencatat lebih dari 8.500 anak direkrut sebagai tentara. Anak-anak juga digunakan sebagai pembawa bahan peledak atau bekerja dalam kondisi berbahaya, yang dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline