Seiring meningkatnya kebutuhan akan guru berkualitas, tantangan dalam dunia pendidikan menjadi lebih jelas, terutama terkait kesiapan mahasiswa keguruan dalam praktik lapangan. Sebagai pengampu mata kuliah Bahasa dan Sastra di Merauke, saya mendapati mahasiswa keguruan semester bawah, seperti program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, PGSD, PGPAUD, Pendidikan Komputer, dan Pendidikan Ekonomi, yang belum menguasai keterampilan dasar membaca, menulis, dan berhitung (Calistung) secara memadai. Tantangan ini tidak berlaku bagi semua mahasiswa, namun jumlah mereka yang belum mampu memenuhi standar keterampilan dasar cukup signifikan, menimbulkan kekhawatiran tentang kualitas pengajaran yang akan diberikan. Kondisi ini diperburuk oleh proses rekrutmen calon mahasiswa yang belum optimal dalam memastikan kualitas calon guru. Karena itu, dibutuhkan seleksi yang ketat melalui rekrutmen yang berbeda, sebagaimana dilaksanakan Kolese Pendidikan Guru (KPG) Papua di Merauke. Melalui rekrutmen yang menerima lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP), KPG berhasil membentuk mereka sejak dini untuk memiliki komitmen dan keterampilan mengajar yang lebik, serta lebih siap menghadapi tuntutan tugas guru, dan mampu menerjemahkannya sebagai panggilan jiwa, bukan sekadar profesi. Tulisan ini menyoroti pentingnya penerapan proses seleksi ketat dalam rekrutmen calon guru, agar institusi pendidikan dan pemerintah dapat mengadopsi kebijakan yang menghasilkan tenaga pendidik berkualitas dengan motivasi kuat untuk menjalankan tugas mulia sebagai guru.
Masalah Rekrutmen di Fakultas Keguruan dan Implikasinya terhadap Kualitas Pendidikan
Rekrutmen calon mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sering belum menekankan keterampilan dasar, terutama Calistung (membaca, menulis, dan berhitung), sehingga sebagian calon guru memasuki program tanpa kompetensi esensial untuk mengajar. Tilaar dalam Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Indonesia (2002) menekankan pentingnya seleksi ketat sejak awal untuk memastikan calon guru memiliki keterampilan dasar yang kuat, yang memudahkan mereka menjalani pendidikan di FKIP. Menurut Sagala dalam Konsep dan Makna Pembelajaran (2010), seleksi yang lemah akan berdampak pada rendahnya kualitas pengajaran di kelas dan proses belajar siswa. Guru tanpa keterampilan dasar yang cukup akan kesulitan dalam membimbing siswa pada tingkat dasar, sehingga seleksi ketat dalam rekrutmen calon guru sangat penting untuk kesiapan mereka dalam aspek fundamental pendidikan.
Kebanyakan penerimaan mahasiswa FKIP masih melalui tes mandiri, sering sebagai alternatif bagi calon mahasiswa yang gagal masuk program studi lain yang lebih bergengsi. Menurut Suyanto dalam Dasar-Dasar Pendidikan Guru (2013), tes mandiri di FKIP kerap mengakomodasi calon yang kurang memiliki ketertarikan atau panggilan mengajar, yang pada akhirnya memengaruhi motivasi belajar dan kualitas lulusan. Situasi ini berdampak serius pada kualitas pendidikan karena FKIP menampung calon mahasiswa yang mungkin kurang komitmen pada profesi guru. Mulyasa dalam Standar Kompetensi dan Sertifikasi Guru (2013) menyarankan seleksi ketat untuk menjaring calon yang benar-benar memiliki minat dan potensi dalam bidang pendidikan, sehingga lulusan FKIP dapat memenuhi tugas mereka sebagai pendidik yang berkualitas.
Dampak kurangnya seleksi ketat dan penerimaan melalui tes mandiri terlihat pada rendahnya kualitas pengajaran di sekolah. Surya dalam Psikologi Pembelajaran (2014) menegaskan bahwa keterampilan dasar guru memengaruhi efektivitas pembelajaran di kelas; guru yang tidak kompeten dalam Calistung akan menghadapi kesulitan dalam menyampaikan materi dan memberikan bimbingan optimal kepada siswa. Selain itu, kurangnya keterampilan dasar juga memengaruhi motivasi dan prestasi siswa, serta menghambat guru dalam mengembangkan metode pembelajaran yang menarik. Mulyasa (2013) menyatakan bahwa guru yang tidak menguasai keterampilan dasar sulit membangun hubungan baik dengan siswa, yang pada akhirnya mengurangi efektivitas pengajaran dan membatasi potensi siswa untuk mencapai hasil belajar optimal.
Studi Kasus Kolese Pendidikan Guru (KPG) Papua
Kolese Pendidikan Guru (KPG) Papua memiliki pendekatan yang unik dalam proses rekrutmennya, yakni merekrut calon guru yang baru lulus SMP untuk menjalani pembinaan dan pendidikan lebih lanjut. Pendekatan ini dirancang dengan tujuan untuk membentuk calon guru sejak usia dini, sehingga mereka lebih siap dalam memikul tanggung jawab sebagai pendidik. Dengan menerima lulusan SMP, KPG Papua fokus membentuk keterampilan dasar dan pemahaman mendalam mengenai profesi guru sejak awal. Tilaar (2002) menyatakan bahwa "rekrutmen calon guru yang dimulai pada usia dini memungkinkan lembaga untuk menanamkan nilai-nilai pendidikan dan etos kerja yang kuat, menjadikan profesi guru sebagai bagian dari panggilan hidup mereka."
Selain itu, model pendidikan di KPG Papua juga mengintegrasikan program pelatihan dasar mengajar selama tiga tahun di tingkat SMA. Hal ini memberikan calon guru kesempatan untuk mendapatkan bimbingan dan latihan dalam keterampilan Calistung serta pengembangan sikap dan nilai-nilai guru yang efektif. Program ini dirancang untuk memastikan bahwa calon guru tidak hanya memiliki kemampuan akademik, tetapi juga dilengkapi dengan mentalitas dan dedikasi yang sesuai untuk profesi pendidik.
Model pendidikan di KPG Papua ini dinilai berhasil dalam membentuk calon guru dengan keterampilan dasar yang solid serta dedikasi yang tinggi terhadap profesi guru. Calon guru muda yang masuk ke KPG dibentuk dan dilatih selama tiga tahun di tingkat SMA dan empat tahun di tingkat tinggi, sehingga mereka memiliki waktu yang cukup untuk mengasah keterampilan dan menanamkan nilai-nilai pendidikan. Hal ini juga didukung oleh Mulyasa (2013), yang menekankan bahwa "pendidikan yang dimulai pada usia muda memudahkan pembentukan karakter dan keterampilan dasar, sehingga calon guru lebih siap mengabdi ketika terjun ke masyarakat." Keberhasilan ini juga disebabkan oleh fokus KPG pada pembentukan panggilan profesi sebagai fondasi utama dalam pendidikan guru. Menurut Purwanto, dalam Prinsip-prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran (2014), "keterlibatan emosional dan komitmen terhadap profesi guru adalah faktor penting dalam keberhasilan pendidikan, dan hal ini perlu ditanamkan sejak dini."
Perbandingan dengan Rekrutmen FKIP atau Program Serupa
Rekrutmen calon guru di FKIP atau program serupa yang terutama menerima lulusan SMA menghadapi tantangan tersendiri dalam hal seleksi. Banyak calon yang mendaftar bukan atas dasar panggilan profesi, tetapi lebih karena keterbatasan pilihan, dengan beberapa di antaranya gagal memenuhi persyaratan untuk program studi yang lebih "bergengsi." Menurut Sudrajat dalam Pengantar Pendidikan (2011), hal ini berdampak pada motivasi awal yang kurang kuat dan keterampilan dasar yang belum mumpuni, terutama dalam hal Calistung. "Tidak adanya panggilan atau minat yang kuat terhadap profesi guru sejak awal sering mengakibatkan rendahnya kompetensi dasar, yang seharusnya menjadi fondasi seorang calon guru." Menurut Sutjipto, dalam Menjadi Guru Profesional (2009), keterampilan dasar mengajar dan kemampuan akademis harusnya sudah terbentuk sejak awal masa pelatihan, bukan sekadar diperoleh secara terbatas melalui program studi. Program studi keguruan yang menerima lulusan SMA kurang memperhatikan seleksi calon berdasarkan kemampuan dan panggilan profesi, sehingga terkadang menghasilkan lulusan yang belum siap mengajar dengan baik, terutama di bidang dasar pendidikan seperti Calistung.