Tanggal 31 Oktober diperingati Hari Menabung Sedunia (World Savings Day), yang dicanangkan pertama kali pada 1924 di Milan, Italia, bertepatan dengan Kongres Penghematan Internasional. Profesor Filippo Ravizza bersama asosiasi penghematan dari berbagai negara menginisiasi hari ini untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menabung sebagai kunci ketahanan ekonomi, baik dalam menghadapi situasi tak terduga maupun merencanakan masa depan. Namun, di tengah meningkatnya gaya hidup konsumtif, kebiasaan menabung sering tergeser oleh pola umum "membelanjakan penghasilan dan menyimpan sisanya" daripada "menyimpan penghasilan dan membelanjakan sisanya." Artikel ini berusaha membahas pentingnya perubahan pola pikir menuju kebiasaan menabung sebagai langkah untuk memastikan stabilitas ekonomi jangka panjang.
Menabung vs. Belanja: Kebiasaan Finansial Masyarakat
Di banyak negara, termasuk Indonesia, terdapat kecenderungan masyarakat "membelanjakan penghasilan dan menyimpan sisanya" daripada "menyimpan penghasilan dan membelanjakan sisanya." Pola ini umumnya didorong oleh gaya hidup konsumtif yang semakin berkembang, terutama di kalangan generasi muda. Menurut Suze Orman dalam The Money Book for the Young, Fabulous & Broke (2005), gaya hidup konsumtif dapat menjebak seseorang dalam siklus keuangan yang tidak sehat. Selain itu, pola ini sangat berisiko karena membuat seseorang lebih fokus pada kepuasan jangka pendek, dan sering mengabaikan keamanan finansial masa depan.
Selain gaya hidup konsumtif, minimnya edukasi finansial juga menjadi penyebab utama di balik kebiasaan ini. Dikutip dari Financial Literacy: Implications for Retirement Security and the Financial Marketplace (2007), rendahnya pengetahuan finansial menyebabkan banyak orang tidak memahami pentingnya menabung untuk tujuan jangka panjang, seperti dana pensiun atau dana darurat. Karena itu, edukasi finansial sejak dini memainkan peran kunci dalam membantu individu membuat keputusan keuangan yang lebih bijaksana, yang pada gilirannya dapat mendukung stabilitas ekonomi keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Kebiasaan berbelanja tanpa mempertimbangkan tabungan memiliki dampak finansial yang merugikan dalam jangka panjang. Dalam Your Money or Your Life (2008), Vicki Robin menyatakan bahwa mengabaikan tabungan berarti menempatkan diri dalam risiko finansial, terutama dalam menghadapi situasi darurat atau masa pensiun. Banyak orang akhirnya terjebak dalam utang ketika mereka tidak memiliki dana darurat untuk situasi tak terduga seperti biaya kesehatan atau kehilangan pekerjaan. Kebiasaan ini pada akhirnya membatasi peluang seseorang untuk mencapai stabilitas finansial dan membangun aset di masa depan. Menurut Jeremy Siegel, dalam artikel The Importance of Saving for Retirement (2012), tanpa tabungan yang memadai, seseorang akan mengalami kesulitan menjaga standar hidup ketika memasuki masa pensiun. Banyak orang yang bergantung sepenuhnya pada penghasilan tanpa memikirkan tabungan, sehingga menghadapi risiko keuangan serius di masa tua, yang bisa berdampak buruk pada kesejahteraan fisik dan mental.
Mengapa Menabung Penting untuk Stabilitas Ekonomi?
Tabungan memainkan peran mendasar dalam stabilitas ekonomi baik di tingkat individu maupun nasional. Menurut Thomas J. Stanley & William D. Danko, dalam The Millionaire Next Door (1996), keluarga yang biasa menabung cenderung memiliki keuangan yang lebih stabil, bahkan ketika pendapatan berfluktuasi. Tabungan memberikan landasan keuangan yang kuat untuk menghadapi berbagai fase kehidupan, seperti pendidikan anak atau perencanaan pensiun, serta meminimalkan ketergantungan pada utang. Kemampuan menyisihkan sebagian dari pendapatan memungkinkan keluarga untuk menciptakan cadangan dana yang dapat diandalkan dalam situasi krisis.
Di tingkat nasional, tabungan juga berfungsi sebagai penopang stabilitas ekonomi yang penting. Seperti yang dijelaskan oleh Angus Deaton dalam The Great Escape: Health, Wealth, and the Origins of Inequality (2013), tabungan masyarakat berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional. Kebiasaan menabung memperkuat pasar keuangan domestik dan memungkinkan pemerintah menjalankan program pembangunan berkelanjutan tanpa terlalu bergantung pada utang luar negeri. Tabungan yang kuat di tingkat individu berkontribusi pada likuiditas perbankan yang sehat, yang pada gilirannya mendukung stabilitas ekonomi dalam jangka panjang.
Dalam situasi darurat, tabungan dapat menjadi penyelamat. David Bach, dalam The Automatic Millionaire (2004), menjelaskan bahwa tanpa cadangan keuangan, seseorang yang kehilangan pekerjaan atau menghadapi kondisi medis yang tak terduga akan mengalami kesulitan keuangan yang luar biasa. Dengan menyisihkan setidaknya tiga hingga enam bulan pengeluaran sebagai dana darurat, individu dapat menghadapi krisis tanpa harus berutang atau menjual aset berharga. Selain itu, tabungan darurat memberikan rasa aman yang signifikan, yang sangat penting untuk kesejahteraan emosional dan stabilitas keuangan.
Krisis kesehatan global, seperti pandemi COVID-19 adalah contoh bagaimana tabungan berperan penting dalam menghadapi keadaan darurat. Dalam artikel Economic Consequences of COVID-19: Lessons from Past Economic Crises (2020), Carmen Reinhart & Kenneth mencatat bahwa masyarakat dengan tabungan memadai lebih mampu bertahan dan memenuhi kebutuhan dasar selama krisis dibandingkan mereka yang tidak memiliki cadangan dana. Pandemi ini memperlihatkan dampak destruktif dari minimnya tabungan dalam masyarakat, sehingga banyak keluarga terpaksa berutang atau bahkan jatuh miskin karena kehilangan sumber pendapatan tanpa dana cadangan.
Mengubah Pola Pikir: Menyimpan Penghasilan dan Membelanjakan Sisanya