Lihat ke Halaman Asli

Dilema Seorang Pengkhianat

Diperbarui: 18 Agustus 2024   06:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dalam dekapan lembut pegunungan Papua yang hijau, tersembunyi sebuah desa yang memegang erat setiap kenangan akan masa lalu. Kampung Wamena, yang tersembunyi di antara rimbunnya hutan dan tebing-tebing terjal, menyimpan jejak-jejak kehidupan yang penuh dengan kisah haru dan perjuangan. Di sini, di bawah langit yang menjuntai biru, di bawah tanah yang memeluk akar-akar tua, hidup seorang pemuda bernama Aleksius.

Aleksius adalah anak sulung dari Mama Maria, seorang wanita bijak yang selalu mengajarkan nilai-nilai adat kepada anak-anaknya. Sejak kecil, Aleksius telah melihat dunia melalui mata yang polos namun tajam. Namun, kemiskinan yang menggenggam desanya begitu erat, membuat setiap langkahnya terasa berat. Ketika penjajah datang dengan janji-janji manis, Aleksius, dengan hati yang penuh harap, tertarik oleh kilauan masa depan yang lebih baik.

"Anak, jangan kau tergoda oleh janji yang manis di luar sana," pesan Mama Maria suatu hari, suaranya serupa angin yang mengalir lembut melalui dedaunan. "Ingat, tanah ini, tanah nenek moyang kita, lebih berharga daripada semua emas yang mereka tawarkan."

Namun, Aleksius yang muda dan penuh ambisi, memilih jalan yang lain. Ia bergabung dengan kelompok bersenjata yang dipimpin oleh Kapten Markus, seorang pria dengan senyum yang mengisyaratkan kuasa. Kelompok ini bekerja di bawah perintah penjajah, menindas rakyatnya sendiri dengan imbalan yang menggiurkan. Aleksius berpikir, dengan bergabung bersama mereka, ia bisa membantu keluarganya keluar dari jurang kemiskinan. Ia bisa memberikan adiknya, Yosephine, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Dengan setiap langkahnya, Aleksius meninggalkan jejak-jejak kebimbangan, yang kelak akan menuntunnya pada jalan penuh duri.

Hari-hari berlalu, dan desa demi desa di bawah kaki pegunungan itu luluh lantak oleh serangan yang dipimpin Aleksius. Ia menjadi tangan kanan Kapten Markus, seorang pemimpin yang keras namun cerdik. Namun, dalam setiap mata yang ia tatap, dalam setiap jeritan yang ia dengar, Aleksius mulai merasakan luka yang semakin dalam di hatinya. Setiap desa yang ia serang bukan hanya tempat tinggal orang asing, tetapi rumah bagi orang-orang yang seharusnya ia lindungi.

Suatu malam, ketika langit Papua berwarna kelabu, Aleksius duduk di tepi sungai yang mengalir tenang di balik desa mereka yang dibakar. Air sungai itu seakan membawa cerita, menyanyikan lagu-lagu lama tentang tanah Papua yang dulu damai. Angin membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang jatuh, mengingatkannya pada masa kecilnya yang damai di kampungnya.

"Apa yang telah aku lakukan?" bisiknya, seolah angin bisa menjawab pertanyaannya. Di balik pikirannya, wajah Yosephine melintas. Adiknya yang dulu ceria kini menjadi pendiam sejak serangan pertama Aleksius terhadap desanya. Di wajahnya tergambar ketakutan dan kekecewaan yang mendalam. Mata Yosephine seakan bertanya tanpa suara, mengapa kakaknya, darah dagingnya sendiri, menjadi musuh yang ia takuti.       

Saat itu, dalam heningnya malam yang dipeluk kabut tebal, Aleksius tahu ia telah memilih jalan yang salah. Namun, ia terperangkap dalam jaring yang ia anyam sendiri. Kapten Markus memegang rahasianya, dan ia tahu bahwa setiap upaya pembelotan akan dibayar dengan nyawa, bukan hanya nyawanya, tetapi nyawa keluarganya.

Aleksius merasa seperti terperangkap dalam mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Setiap langkah yang ia ambil membawa bayangan kematian dan penyesalan. Namun, ia juga tahu bahwa hanya ada satu jalan keluar dari neraka ini---ia harus melawan, bukan hanya melawan penjajah, tetapi juga melawan dirinya sendiri, melawan rasa takut yang selama ini membelenggunya.

Ketika Kapten Markus memerintahkannya untuk memimpin serangan ke sebuah desa yang mereka sebut sebagai sarang pemberontak, Aleksius merasa tanah di bawah kakinya runtuh. Desa itu, desa yang harus ia hancurkan, adalah Kampung Wamena, kampung halamannya sendiri.

Aleksius terdiam lama saat menerima perintah itu. Wajah Kapten Markus yang biasanya menenangkan kini tampak seperti setan yang tertawa di dalam api. Hatinya bergolak, seperti ombak yang menghantam karang dengan amarah yang tak terucapkan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline