Lihat ke Halaman Asli

Perangkat Kata "Bukan" atau "Non": Ketika Identitas Direduksi dan Distigmatisasi

Diperbarui: 23 Juli 2024   06:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Penggunaan kata "bukan" atau "non" dalam konteks identitas kerap menjadi perangkap linguistik yang menimbulkan banyak kontroversi. Ketika seseorang disebut "non-Kristen," "non-Islam," "non-pribumi," "non-Papua," atau istilah serupa, identitasnya direduksi menjadi sekadar ketiadaan atau ketidakadaan dari sesuatu. Kata-kata ini bukan hanya sekadar label, tetapi juga alat yang memiliki kekuatan untuk menstigma, mengasingkan, dan meminggirkan individu atau kelompok.

Kekhawatiran yang muncul dari penggunaan istilah-istilah ini tidak hanya bersifat linguistik, tetapi juga sosiologis dan psikologis. Banyak yang berpendapat bahwa label "non" atau "bukan" menyiratkan kekurangan atau ketidaksempurnaan, seolah-olah identitas yang tidak sesuai dengan norma dominan dianggap kurang sah atau kurang bernilai. 

Perdebatan ini merambah ke berbagai aspek kehidupan, mulai dari diskursus politik hingga interaksi sehari-hari, mencerminkan betapa dalamnya dampak cara kita memilih kata-kata untuk mendefinisikan satu sama lain. Di tengah arus globalisasi dan diversifikasi identitas, penting untuk meninjau kembali bagaimana kata-kata tersebut digunakan dan bagaimana mereka memengaruhi persepsi serta perlakuan terhadap individu yang dilabeli dengan kata-kata tersebut.

Implikasi Negatif Kata "Bukan" atau "Non"

Penggunaan kata "non-" di depan identitas tertentu dapat meminimalkan kekayaan dan kompleksitas identitas tersebut. Istilah ini secara tidak langsung menganggap identitas utama sebagai norma, sementara yang lain dianggap sebagai deviasi. Ini menciptakan hierarki sosial karena identitas yang didefinisikan dengan "non-" sering dipandang kurang penting atau memiliki nilai lebih rendah.

Misalnya, ketika seseorang disebut sebagai "non-Kristen" atau "non-Islam," identitas mereka direduksi menjadi ketiadaan dari Kristen atau dari Islam. Hal ini mengimplikasikan bahwa identitas mereka kurang bernilai atau kurang lengkap. Ini bukan sekadar masalah semantik, tetapi juga mencerminkan dan memperkuat struktur kekuasaan sosial yang ada.

Penelitian Tove Skutnabb-Kangas (2000), Linguistic Genocide in Education---or Worldwide Diversity and Human Rights?, menyoroti bahwa bahasa tidak hanya sebagai alat komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan yang dapat menstigma dan memarginalkan kelompok tertentu. Dalam konteks ini, penggunaan "non-" atau "bukan" menjadi cara halus untuk mempertahankan dominasi kelompok mayoritas.

Dalam contoh "non-Islam," istilah ini sering menempatkan identitas agama selain Islam sebagai sesuatu yang sekunder atau kurang penting. Ini dapat menimbulkan stigma dan perasaan tidak dihargai di antara individu yang diidentifikasi sebagai "non-Islam." Selain itu, istilah ini dapat mengabaikan keragaman dan kompleksitas identitas agama lain, seperti Kristen, Hindu, atau Buddha, dengan menyatukannya dalam satu kategori umum yang tidak spesifik.

Menurut Judith Butler (2004), dalam Undoing Gender, penggunaan bahasa yang mereduksi identitas seseorang dapat memiliki implikasi serius pada cara individu dan kelompok dipersepsikan dan diperlakukan dalam masyarakat. Ketika identitas seseorang direduksi menjadi sekadar "bukan" sesuatu, identitasnya tidak hanya dipersempit, tetapi juga diremehkan.

Penggunaan istilah "non-" atau "bukan" dapat memperkuat stereotip negatif dan memperdalam ketidaksetaraan sosial. Istilah-istilah ini sering digunakan tanpa mempertimbangkan dampak psikologis dan sosial yang mungkin timbul. Studi Susan Fiske (2023), Social Beings: Core Motives in Social Psychology, menunjukkan bahwa cara kita melabeli dan mendefinisikan identitas orang lain memiliki dampak yang mendalam pada cara kita memperlakukan mereka.

Penggunaan kata "non-" dapat dilihat sebagai pelanggaran terhadap prinsip kesetaraan dan nondiskriminasi yang diakui dalam berbagai instrumen hak asasi manusia internasional. Menurut Ian Haney Lpez (2006), dalam White by Law: The Legal Construction of Race, definisi hukum yang menggunakan istilah-istilah yang bersifat eksklusi dapat melanggengkan ketidaksetaraan sosial dan merusak prinsip-prinsip perlakuan yang sama di mata hukum.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline