Lihat ke Halaman Asli

Cahaya Kampung Kamur

Diperbarui: 11 Juli 2024   01:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di Kampung Kamur, di tengah belantara Pantai Kasuari, Papua, hidup seorang anak lelaki bernama Ferdinandus. Sejak tahun 1995, Ferdinandus yang periang dan murah senyum harus menanggung beban kesepian setelah kedua orang tuanya meninggal dunia di saat mencari sagu di hutan. Namun, keberuntungannya bertemu dengan seorang guru asal Flores, bernama Policarpus, memberi harapan baru. Dengan mata bulat bercahaya dan wajah cerah yang selalu tersenyum, Ferdinandus berusaha menjadi bagian dari keluarga baru ini.

Pak Policarpus dan istrinya, Maria, mengasuh Ferdinandus dengan penuh kasih sayang. Mereka melatihnya berbagai keterampilan rumah tangga yang sederhana, seperti mencuci piring, memasak, dan menyalakan kompor. Setiap hari, Ferdinandus belajar dengan tekun dan menunjukkan kemauan keras untuk membantu.

Pada suatu malam, ketika api unggun menyala di halaman rumah mereka, Ferdinandus duduk bersama Pak Policarpus di atas tikar anyaman pandan. "Ferdinandus," kata Pak Policarpus sambil menatap api yang berkerlap-kerlip, "Kau tahu, di dunia ini, penting sekali untuk memiliki semangat belajar. Kau adalah anak yang rajin, dan itu membuat kami sangat bangga."

Ferdinandus menatap Pak Policarpus dengan mata berbinar. "Terima kasih, Pak Guru. Saya ingin terus belajar agar bisa membantu keluarga ini dan Kampung Kamur."

"Semangat itu akan membawamu jauh, Nak. Jangan pernah menyerah," jawab Pak Policarpus sambil mengusap kepala Ferdinandus dengan penuh kasih sayang.

Suatu sore yang hangat, Ibu Maria memberi tugas pada Ferdinandus. "Ferdinandus, setelah makan, tolong isi air ke dalam drum di dapur," katanya dengan lembut, tanpa menjelaskan lebih lanjut. Ferdinandus yang bersemangat mengangguk patuh. Namun, ketika malam tiba dan Ferdinandus tak kunjung pulang, kecemasan mulai menyelimuti keluarga Pak Policarpus. Mereka mencari-cari, memanggil namanya di bawah langit Pantai Kasuari yang semakin gelap.

"Ferdinandus! Ferdinandus!" teriak Ibu Maria dengan nada cemas, suaranya menggema di antara pepohonan, menggetarkan daun-daun dan mengusik keheningan senja. Matahari mulai tenggelam, menyisakan semburat jingga di ufuk Barat, sementara angin malam mulai berhembus lembut, membawa kekhawatiran yang semakin membesar di hati mereka.

"Ke mana anak itu?" gumam Pak Policarpus sambil menyeka keringat di dahinya, pandangannya menyapu sekitar rumah dengan cemas. Suasana sekitar mulai diliputi kegelapan, hanya diterangi oleh sinar rembulan yang malu-malu muncul di balik awan.

Di sudut halaman, tiga anak mereka, Rikardus, Frengky, dan Andreas, ikut merasakan kecemasan orang tua mereka. Rikardus, anak tertua, dengan rambut ikal yang selalu berantakan, berusaha menenangkan kedua adiknya. "Jangan khawatir, kita pasti akan menemukan Ferdinandus," ujarnya dengan suara tenang, meskipun dalam hatinya, kegelisahan ikut bergejolak.

Frengky, dengan mata bulat yang selalu penuh rasa ingin tahu, mendekati Pak Policarpus. "Pak, mungkin dia pergi ke sungai lagi. Dia suka bermain di sana saat sore hari," katanya dengan suara lirih, mencoba memberikan petunjuk.

Pak Policarpus mengangguk, mengerti. "Baiklah, kita akan mencarinya di sungai," katanya dengan suara tegas, mencoba menenangkan hatinya sendiri. "Rikardus, bawa senter dan temani adik-adikmu. Kita harus menemukan Ferdinandus sebelum malam semakin larut."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline