Lihat ke Halaman Asli

Senja Terakhir

Diperbarui: 2 Juli 2024   12:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senja mulai merayap di cakrawala, mengantarkan hari menuju peraduan malam. Angin berdesir lembut, menyusup di celah-celah dedaunan yang mulai merunduk lesu. Di kejauhan, burung-burung terbang kembali ke sarang, seolah membawa pesan dari langit. Nina duduk di beranda rumahnya, menikmati suasana senja yang perlahan berubah menjadi malam. Langit yang berwarna jingga keemasan tampak seperti kanvas yang dilukis dengan sapuan warna cinta dan harapan.

"Selamat sore, Tuhan. Hamba bersyukur atas hari ini," batinnya berbisik lembut, mengucap syukur atas anugerah-Nya yang tak terhingga. Biarlah doanya mengalun bagai melodi indah yang menyentuh hati, menembus batas-batas dunia fana. Nina merasa damai sejenak, meresapi keindahan alam yang selalu setia menemani.

Setelah hening dalam doa, Nina melangkah keluar dari ruangan, merasakan dingin yang mulai menyelimuti. Ia menatap dapur kecil di sudut rumah, mencari-cari sesuatu untuk mengganjal perut yang keroncongan.

"Adakah rezeki yang tersisa untuk malam ini?" tanyanya dalam hati, berharap menemukan sisa-sisa makanan. Namun, hanya panci kosong yang menyambut tatapannya. Rasa cemas mulai merayapi hatinya.

"Bu, aku lapar," suara anaknya, Rania, memecah keheningan, menggenggam erat tangannya yang mulai bergetar.

"Bersabarlah, Sayang," jawabnya, menyembunyikan kekhawatiran di balik senyum tipis. Ia melangkah ke luar, menelusuri halaman kecil yang gelap, mencari sesuatu yang mungkin tersembunyi di antara bayang-bayang malam.

"Pasti ada jalan," pikirnya, menguatkan hati yang mulai gundah. Di sudut taman, ia melihat pohon mangga yang dulu sering berbuah lebat. Mungkinkah ada satu yang tersisa?

Dengan harapan yang terbit kembali, Nina mendekati pohon itu. Namun, hanya dedaunan kering yang berguguran, tanpa satu pun buah yang tersisa.

"Maafkan aku, Sayang," ucapnya pelan, merasakan air mata yang mulai menggenang di pelupuk. Tetapi ia tak boleh menyerah. Di dalam lumbung, mungkin masih ada sekarung beras yang tersisa sejak panen tahun lalu.

"Semoga masih ada," harapnya, menapaki langkah terakhir dengan hati-hati. Dan Tuhan mendengar doanya. Sekarung beras itu masih ada, cukup untuk mengganjal perut mereka malam ini.

"Terima kasih, Tuhan," bisiknya penuh syukur, membawa sekarung beras ke dapur. Anaknya bersorak gembira, tak menyadari perjuangan di balik senyumnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline