Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Sukaryadi

Agustinus Sukaryadi

Tradisi sebagai Kekayaan Spiritualitas Bangsa

Diperbarui: 23 Maret 2022   20:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Penyambutan tamu besar di wilayah-wilayah Indonesia disambut dengan tari-tarian, kalungan bunga dan barisan pasukan dengan iringan musik.  (Dokpri)

Dua acara nasional besar yang bercorak modern namun tidak meninggalkan yang tradisi; pertama  kemah Presiden Jokowi beserta para menteri dan semua gubernur. Kemah dalam rangka pembukaan pembangunan Ibu Kota Negara 13-14 Maret 2022, di titik nol calon Ibu Kota Negara. 

Diselenggarakan dengan kamasan yang menyertakan tradisi nenek moyang. Mengumpulkan tanah dan air bersejarah  dari daerah-daerah dikumpulkan menjadi satu dalam sebuah kendi. 

Kedua balapan motor di sirkuit Mandalika yang menyertakan tradisi dengan penolakan hujan. Kedua momentum tersebut tidak luput dari sorotan tajam. 

Ada orang-orang mengecam dengan menyertakan adat dan tradisi. Menafikkan tradisi-tradisi sebagai kekayaan spiritualitas. Mereka berpandangan bahwa tidak ada spiritualitas dalam tradisi-tradisi.

Dari ramainya perbincangan dan kritik tajam (nyaris kecaman) soal  kontra penyertaan tradisi dalam upacara besar dan nasional tersebut penulis lalu teringat peristiwa kunjungan Bapa Suci Yohanes Paulus II di Indonesia bulan Oktober 1989. 

Saat itu penulis terlibat menjadi  panitia penerimaan yang di Yogyakarta. Kurang lebih selama tiga bulan panitia mempersiapkan segala sesuatunya. 

Suatu saat datang sekelompok orang yang ingin membantu masuk dalam kepanitiaan. 

Mereka menyatakan akan menolak hujan, agar pada saat penyambutan cuaca cerah (intinya begitu). Mereka mengatakan wakil dari sekitar 400 orang yang ingin ikut mengamankan jalannya penyambutan tamu Negara. Pastor yang menjadi salah satu penasehat penulis lapori. 

Dengan berbagai pertimbangan, permintaan  diakomodir namun tidak masuk dikepanitiaan. Penulis mengutarakan problimatiknya, mereka bisa menerimanya. kemudian mencari jalan bersama, yang penting niat suci, terakomodasi. Berbaur dengan umat melakukan tugas suci mereka.

Dari pengalaman-pengalaman tersebut nyata bahwa tradisi-tradisi yang berkembang, memiliki spiritualitas dan religiousitas yang hidup serta dihidupi oleh masyarakat. 

Dalam bukunya Rachmat Subagyo, yang berjudul Agama-agama Asli di Indonesia, menyebutkan ada tradisi-tradisi religious di setiap suku bangsa/sub suku bangsa di Indonesia. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline