Lihat ke Halaman Asli

Agustinus Abyasa Danurdara

Mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta

Berawal dari Pertunjukan Wayang Kulit sampai "Indigo", Berikut Sejarah Perfilman Indonesia

Diperbarui: 17 September 2023   22:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

gambar dari Wikimedia Commons dan Instagram @rocksoroya

17 September, 2023 - Menyambut salah satu film Indonesia yang akan datang di layar lebar, yakni Indigo, sebuah film karya Rocky Soraya, produser seri film The Doll dan Suzzana, dan bekerja sama dengan Legacy Pictures, mari memutar kembali waktu dan mengetahui sejarah film Indonesia hingga saat ini.

Film Indigo yang akan tayang di bioskop pada bulan Oktober 2023, diperankan oleh Amanda Manopo, Aliando Arief, dan Sara Wijayanto, merupakan sebuah film bergenre horror, mengenai kisah seorang tokoh ‘indigo’, dalam arti kepekaan tinggi terhadap hal – hal supernatural, bernama Zora bersama adiknya, yang berusaha mempertahankan diri terhadap serangan – serangan supernatural terhadap mereka. Salah satu sumber ketertarikan dalam film Indigo adalah kembalinya Sara Wijayanto, sebagai aktris, Youtuber, dan sosok ‘indigo’ di dunia nyata, yang ditunjukan secara intens dalam konten Youtube Sara Wijayanto.

‘Bekal’ terbesar yang dimiliki oleh film Indigo tidak hanya terpusat pada daftar pemerannya, melainkan juga ekspektasi tinggi terhadap CGI (Computer Generated Imagery) oleh Rocky Soraya bersama tim produksinya, yang tampak menakjubkan dari cuplikan dalam trailer film.

Melalui Indigo, dan film – film CGI Indonesia pendahulunya seperti Mencuri Raden Saleh, Gatotkaca, dan Sri Asih, terlihat bahwa industri film Indonesia telah berkembang lebih lanjut, mengetahui situasi perfilman global yang kini sudah dapat dikatakan mengandalkan CGI tersebut. Meskipun belum bisa bersaing secara global, bagi Indonesia, industri perfilman lokal ditanggapi semakin baik dan patut diapresiasi (Mojok.co,2019).

Pengetahuan akan keberlanjutan perkembangan industri perfilman Indonesia, secara lanjut dibuktikan oleh film Indigo (2023), khususnya dalam bidang teknologi, bagaimana diapresiasi dalam skala lokal, cenderung perlu dilengkapi dengan wawasan terhadap kisah lalu atau sejarah industri perfilman Indonesia, yakni asal – usul dari segala perkembangan tersebut.

Membahas awal dari sejarah film di Indonesia, riset dan bukti historis mengindikasikan bahwa bentuk film pertama diwujudkan dan dipertunjukan 1500 tahun sebelum masehi, yakni pertunjukan Wayang Kulit. Pertunjukan Wayang Kulit sendiri pada masa itu mengisahkan atau mengkomunikasikan pesan dan moral dari Kerajaan, bagaimana para dalang wayang menirukan suara, mempertegas bayangan wayang, dan tentunnya menggerakan wayang tersebut. Pertunjukan Wayang termasuk dalam kategori film atas intensi dan dampaknya sebagai sarana hiburan gambar berupa bayangan bergerak bagi penonton.

Budaya pertunjukan wayang dapat dikatakan sebagai ‘akar’ dalam industri perfilman, bagaimana gambar hidup atau gambar bergerak yang sebenarnya, pertama kali dikenalkan kepada masyarakat Indonesia pada masa penjajahan oleh Belanda sekitar tahun 1900. Awal dari perkenalan produk industri film pada awalnya diarahkan kepada orang – orang eropa dan elit pribumi sebagai hiburan di Indonesia, atau pada zaman itu disebut Hindia Belanda, hingga pada tahun 1910, mulai didirikannya bioskop di Batavia (kini Jakarta), Hindia Belanda oleh para pedagang Tionghoa. Pendirian bioskop umum di berbagai daerah Hindia Belanda, kemudian memicu pendirian Perusahaan film pertama bagi Hindia Belanda oleh L. Hueveldop dan G. Kruger, di Bandung, dengan nama NV Java Film Company. Produk pertama yang dikeluarkan atau dirilis oleh perusahaan film pertama tersebut, berupa film bisu berjudul Loetoeng Kasaroeng.

Pengenalan industri film oleh Belanda sebagai media hiburan yang terbukti efektif, pada akhirnya diteruskan oleh kedua sosok yang dicetuskan sebagai Bapak Perfilman Indonesia dan Bapak Industri Film Indonesi, yakni Usmar Ismail, pendiri Perusahaan Film Nasional atau Perfini pada tahun 1950, dan Djamaluddin Malik, pendiri Perseroan Artis Indonesia pada tahun 1951.

Terlihat bahwa kemerdekaan Indonesia, sebagai penutup masa penjajahan kembali mendatangkan inovasi dan perkembangan terhadap negara, bagaimana peran Usmar Ismail dan Djamaluddin Malik, menjadi wadah bagi Indonesia yang kini menghadapi digitalisasi dan globalisasi. Kemerdekaan dan berakhirnya peperangan global membuka jendela terhadap komunikasi dunia, termasuk dengan film sebagai salah satu produk komunikasi. CGI pun menjadi salah satu inovasi dalam bentuk teknologi yang tidak dapat diperoleh di Indonesia tanpa adanya sejarah perfilman yang perlahan memediasi, yang kemudian membuktikan betapa pesatnya industri film Indonesia pada saat ini.

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline