Sampai dengan tulisan ini saya buat, Rabu, 7 April 2020 jumlah kasus positif Covid-19 adalah 2.491 kasus. Dengan mempertimbangkan jumlah penduduk yang akan masih terus dilakukan rappid test, angka itu sudah bisa dipastikan akan terus menggeliat naik. Status darurat kesehatanpun telah ditetapkan melalui Kepres 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) yang diteken tanggal 31 Maret 2020 silam.
Pembatasan sosial berskala besar juga diberlakukan melalui PP Nomor 21 Tahun 2020. Kabarnya hari ini pak Menkes tuntas setujui PSSB untuk DKI Jakarta. Pembatasan dilakukan terhadap kegiatan keagamaan, kegiatan di tempat atau fasilitas umum, hingga belajar dan bekerja yang dilakukan dari rumah.
Kegiatan belajar mengajar, rapat-rapat, seluruhnya dilakukan dengan cara daring. Pokoknya, kata pemerintah, warga kudu manut untuk jaga jarak, entah social distancing atau physical distancing. Pokoknya harus ada jarak di antara kita. Hindari kerumunan dan berinteraksi secara fisik dengan orang lain, serta sementara untuk berdiam diri dulu di rumah.
Pemerintah, meminta kita, warga untuk selalu waspada. Virus itu tak nampak dengan mata telanjang, tak terlihat batang hidungnya, tak payah jika ketemu lalu dikeplak akan tewas. Salah-salah, kita yang terinfeksi nantinya. Keresahan mulanya muncul pada diri saya karena masih banyak orang yang kadung berani akan sepak terjang Si Virus. Kadung berpasrah soal usia, tanpa mencoba mendahuluinya dengan ikhtiar dan waspada untuk menjaga diri sendiri dari serangan corona.
"WHY PEOPLE!?" Ketidakpedulian itu jelas membuat saya membangun benteng perlindungan diri yang lebih kokoh, karena jika terserang, yang pertama merasakan sakitnya bukan pemerintah, tapi saya sendiri. Begitu pikir saya. Jadilah saya mempersenjatai diri saya dengan mulai rutin minum vitamin, berjemur jam 10 pagi, mengenakan masker saat keluar rumah, dan membawa handsanitizer kemanapun saya pergi. Tunggu, ternyata bukan hanya saya yang berpikir demikian.
Dengan memiliki pasokan masker medis untuk melindungi orang lain ketika naudzubillah saya memiliki gejalanya dan harus banget keluar untuk memeriksakan diri, dan juga memiliki bahan makanan agar tidak perlu sering-sering keluar rumah, bagi saya itu sudah cukup. Waktu harus ke warung, atau ke supermarket yang lebih besar, sangat cukup bagi saya menggunakan jaket, celana panjang, masker, dan sepatu, sehingga tertutup seluruh badan saya. Itupun, saya sudah merasa saya menjadi pusat perhatian karena nampak seperti artis korea yang sedang ingin jalan-jalan tanpa pengawal (HA'ELAH).
Belanja ke Supermarket Pakai APD
Suatu pagi di tanggal 29 Maret 2020, mata saya yang masih 5Watt gerara baru bangun tidur, menjadi terbelalak oleh viralnya sebuah video yang dibagikan oleh akun @lambe_turah yang menunjukan dua orang berbelanja di supermarket di Gandaria City dengan mengenakan baju hazmat, yang tak lain adalah Alat Perlindungan Diri (APD) bagi tenaga medis dalam bekerja merawat pasien-pasien yang positif corona. Mencari validasi, saya mengecek portal berita detik.com, kompas.com, dan cnn, benar saja. "Kami di sini juga ingin belanja dengan tenang! Kami bawa uang!" Ujar salah satu orang ber-APD dalam video yang ramai itu.
Tidakkah mereka menyadari bagaimana sulitnya tenaga medis untuk mendapatkan alat perlindungan diri itu, yang jelas-jelas digunakan untuk merawat pasien. Tenaga medis, yang betul-betul memerlukan baju hazmat itu justru menggunakan jas hujan plastic. Jikapun ada, tenaga medis bahkan rela menahan kencing dan berpanas-panas di dalamnya agar dapat menambah durasi waktu bagi mereka mengenakan hazmat itu dan dapat merawat pasien lebih banyak. Tidakkah mereka menimbang nilai dari baju hazmat yang mereka miliki itu jika berada di tangan yang tepat.
Stigmatisasi ODP dan PDP, Hingga Ditolaknya Jenazah Pasien Covid-19
Sebagaimana yang kita tahu, Orang Dalam Pemantauan dan Pasien Dalam Pengawasan yang masih harus dan WAJIB melakukan isolasi mandiri.
Namun tidak yang terjadi di Sikka. Warga berbondong-bondong mendatangi tempat ODP tinggal bukan untuk memberikan dukungan logistik, makanan, atau sekedar vitamin, melainkan untuk mengusirnya dan memintanya agar segera angkat kaki dari Kelurahan Waoti, Kecamatan Alok Timur, Sikka. Ironinya, ini bukan ini adalah pengusiran kedua, setelah sebelumnya diusir dari kecamatan Palue, Sikka, kampung halamannya sendiri.
Yang masih hidup dan berjuang, diusir. Yang sudah meninggalpun tak absen tertimpa malang. Jenazah pasien covid-19 di Banyuwangi yang telah ditolak di dua tempat, yang pada akhirnya dikuburkan langsung oleh tangan sang Bupati dini hari, menjadi bukti matinya empati. Terlepas dari pemakaman yang akhirnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi pada dini hari yang menurut saya juga merupakan sebuah kekeliruan, tapi fakta bahwa si jenazah sudah dua kali ditolak juga tidak bisa dibilang benar.