Kesejahteraan hidup merupakan hak setiap orang untuk dapat merasakannya, terutama peran pemerintah untuk terus mengupayakan tercapainya suatu hak setiap orang tersebut atas kewajiban yang telah dilakukan. Seperti halnya permasalahan guru honorer yang tidak ada habisnya mengenai keseimbangan antara gaji yang didapatkan dengan pengeluaran tenaga yang dicurahkan untuk mencerdaskan anak bangsa.
Bukan hanya itu saja, embel-embel bekerja karena mengabdi pada bangsa dan untuk ketulusan selalu dijadikan alasan untuk menelantarkan para guru honorer ini. Tentu saja seharusnya ada keseimbangan antara tenaga dan upah yang dicurahkan oleh guru honorer ini. Mereka sudah mencapai pendidikan untuk mendapatkan pekerjaan yang mulia dan tentunya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan pekerjaan ini,
tetapi justru gaji yang mereka dapatkan bahkan tidak sepadan sama sekali, bahkan upah minimum di daerah mereka. Tak jarang pula gaji yang mereka dapatkan justru tidak turun dalam sebulan sekali, tetapi ada juga yang harus menunggu hingga empat bulan bahkan lebih dengan nominal yang sangat memprihatinkan. Jika terus begini, secara tidak langsung juga akan mematikan keinginan mereka yang berniatan untuk menjadi seorang guru.
Dengan begitu, negara kita juga akan semakin kekurangan tenaga pengajar. Jika ini terus terjadi akan seperti apa kualitas pendidikan di Indonesia jika banyak yang mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang guru atau pengajar. Jika kita melihat dari sisi guru yang sudah menjadi PNS sehingga memiliki kecukupan gaji yang didapatkan, tentu saja hal ini berbeda dengan keadaan di lapangan.
Faktanya, berdasarkan data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2020, jumlah guru non-PNS di Indonesia mencapai 937.228 orang dan dari jumlah tersebut, 728.461 di antaranya berstatus guru honorer sekolah. Dapat kita lihat bahwa lebih dari setengahnya adalah guru yang masih belum mendapat kelayakan upah minimum.
Permasalahan ini merupakan hal yang pelik karena guru honorer tidak mendapatkan status kejelasan sebab mereka disebut PNS pun belum dan disebut PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) juga belum. Meskipun sempat adanya wacana bahwa guru tidak mendapat slot CPNS di tahun 2021 lalu karena terdapat seleksi satu juta guru honorer menjadi PPPK.
Meskipun demikian, tentunya hal ini juga bukanlah menjadi suatu halangan bagi guru honorer sehingga tidak bisa mendapatkan slot CPNS. Baru-baru ini juga terdapat suatu ulasan yang dilansir oleh Liputan6.com bahwa tenaga honorer akan dihapuskan pada tahun 2023. Hal tersebut menyusul surat yang diterbitkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Tjahjo Kumolo bernomor B/185/M.SM.02.03/2022
itu diundangkan pada 31 Mei 2022. Dalam surat tersebut, Menteri Tjahjo menyatakan jika pegawai ASN terdiri atas PNS dan PPPK. Namun, yang menjadi masalah adalah para tenaga honorer ini membutuhkan suatu kepastian bukan hanya penghapusan tenaga honorer pada tahun 2023 mendatang. Apalagi sudah banyak tenaga honorer ini yang bekerja mengabdi selama belasan bahkan
puluhan tahun dengan upah yang memprihatinkan. Belum lagi kuota yang diberikan saat test semakin menurun. Tentunya hal ini berbanding terbalik dengan jumlah tenaga yang semakin banyak.
Oleh karena itu, diperlukan adanya kesejahteraan pada tenaga guru honorer yang sudah bekerja hingga belasan bahkan puluhan tahun meskipun masih banyak kesulitan yang diberikan dalam upah. Tentunya jika tenaga guru memiliki kelayakan dalam upah akan mampu memperbaiki kualitas pendidikan di Indonesia dan tidak lagi kekurangan sumber daya di sektor pendidikan.
Apabila guru merasa cukup dengan gaji yang layak, secara tidak langsung mereka akan lebih semangat dalam memberikan ilmu pada para siswa. Selain itu, tidak aka nada lagi anggapan bahwa guru adalah nasib dan bukan suatu pilihan.