"Matamu cantik seperti mata Song Hye Kyo." Tanpa basa-basi Oppa X memuji teman yang baru saja saya perkenalkan dengannya.
"Heh? Siapa dia?" Saya dan teman saya serempak bertanya.
"Dia aktris Korea. Masih muda dan sangat terkenal."
Oppa X mengatakan semuanya dalam bahasa Indonesia. Meskipun masih terpatah-patah, itungannya sudah lancar. Sebagai tutor bahasa Indonesianya saya tentu bangga dan lega. Namun sebagai orang yang selalu membersamainya selama belajar di UGM, saya cemburu.
Bisa-bisanya memuji orang lain yang baru pertama kali dijumpai, tepat di depan hidung saya yang memperkenalkan. Ckckck! Yang bikin saya tak bisa menerima adalah perawakan teman yang dipuji itu. Dia hitam manis dan berwajah Jawa. Sama sekali tak ada semburat Korea-Koreanya. Matanya tidak sipit. Kok bisa disamakan dengan Song Hye Kyo?
Sudah pasti saya menjadi amat penasaran dengan sosok Song Hye Kyo. Jika pujian itu dilontarkan pada zaman now, saya tinggal googling atau buka Tiktok. Karena tatkala itu era 90-an dan internet belum memasyarakat, rasa penasaran tak tertuntaskan. Malah akhirnya terabaikan hingga puluhan tahun kemudian.
Sampai Oppa X kembali ke Korea. Sampai saya bekerja, menikah, dan punya anak. Bahkan sampai anak saya berusia 9 tahun dan mulai tergila-gila pada grup musik Girl's Generation (SNSD), saya masih melupakan Song Hye Kyo.
Saya pun tak sadar kalau anak saya terkena Hallyu (Gelombang Korea) jalur musik. Absurd sekali 'kan? Sementara faktanya, sesekali saya ikut membaca kabar-kabar tentang SNSD di tabloid/majalah yang dipinjam anak dari temannya.
Anak saya punya poster-poster juga. Membelinya dengan uang saku yang dikumpulkan. Saya pikir-pikir, upayanya luar biasa untuk ukuran anak SD. Sekuat itu ternyata cengkeraman K-Pop kepada si bocah.
Lambat-laun dia ikutan belajar bahasa Korea juga. Itu kejutan bagi saya. Kok bisa tahu Hangul segala dari mana? Usut punya usut, dia belajar dari anak tetangga yang sudah SMP.