Nama besar Joko Pinurbo (JokPin) dalam dunia sastra Indonesia, terkhusus puisi, sungguh tak perlu diragukan lagi. Terlebih ketenaran penggalan puisinya tentang Yogyakarta demikian dahsyat. Sampai mampu menembus tembok kokoh yang biasanya membatasi interaksi dunia sastra dengan publik nonsastra alias orang awam.
Minimal hal itu terbukti dari banyaknya orang yang makin didera rindu berat kepada Yogyakarta, bahkan walau mereka belum pernah satu kali pun menginjakkan kaki di Yogyakarta. Begitulah adanya. Jogja (bentuk penulisan informal dari Yogyakarta) itu candu dan pengaruh candunya bertambah kuat sebab Penyair Joko Pinurbo berhasil membius publik awam dengan rumusan ikoniknya tentang Yogyakarta, yang kini terpampang di Teras Malioboro 1.
Sebuah kondisi yang membuat perasaan saya terbelah. Satu sisi sangat gembira sebab publik merasa relate dengan karya sastra (dalam hal ini puisi karya Joko Pinurbo). Yang saya maknai bahwa faktanya, tidak selamanya sastra berada di menara gading yang jauh dari jangkauan masyarakat awam. Plus bisa membuktikan bahwa sastra pun berguna bagi masyarakat.
Namun di satu sisi lainnya, saya merasa sedih. Betapa tidak sedih kalau orang-orang yang kerap menyitir penggalan puisi Joko Pinurbo, ternyata sebagian tidak tahu beliau. Apa boleh buat? Dalam hal rumusan "Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan", ternyata Joko Pinurbo kalah tenar dari karyanya sendiri.
Itulah sebabnya saya pernah tergerak untuk menandai akun instansi/dinas terkait yang mengurusi Pariwisata Yogyakarta, terkhusus Malioboro, dalam sebuah postingan bernada protes. Postingan tersebut berupa foto tulisan "Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan" yang ada di Teras Malioboro 1. Yang saya lengkapi dengan narasi berupa pertanyaan, mengapa nama sang pemilik kalimat ikonik tersebut tidak dicantumkan?
Menurut saya, hanya ada satu penyebabnya. Tak lain dan tak bukan adalah ketidaktahuan bahwa rumusan kalimat ikonik yang amat menjual Yogyakarta itu sebetulnya merupakan sebuah kutipan karya sastra. Yang tentunya kalau dikutip untuk kepentingan apa pun, nama sang sastrawan wajib dicantumkan.
Kalau dipikir-pikir memang ironis sekali. Bagaimana bisa pihak pengelola pariwisata Yogyakarta sampai lalai seperti itu? Untung saja nama Joko Pinurbo merupakan nama besar sehingga mudah ketahuan. Iya 'kan?
Foto dalam postingan di atas saya ambil saat Teras Malioboro 1 belum secara resmi dibuka untuk umum. Tatkala itu para pedagang baru mulai membersihkan dan menata lapak masing-masing. Adapun saya leluasa masuk ke area situ untuk melihat-lihat dan berfoto ria setelah meminta izin kepada satpam.
Syukurlah tak lama setelah Teras Malioboro 1 dibuka untuk umum, nama Joko Pinurbo sudah dicantumkan di bagian bawah kanan dari tulisan penggalan puisinya. Tentu saya senang mengetahui fakta tersebut. Berarti pihak terkait bersedia mendengarkan aspirasi warganya. Atau jangan-jangan, pihak terkait merasa sungkan sehingga amat responsif karena tatkala itu sang penyair ikut berkomentar di postingan saya.