Saya punya pengalaman tidak mengenakkan sekaligus sangat mengesalkan terkait ageisme. Bikin nyengir pahit sebab diskriminatif dan tidak berkeadilan sosial.
Pengalaman tersebut terjadi dalam lingkup sosial kemasyarakatan (pergaulan di kampung), akses untuk mendapatkan job (as blogger-microinfluencer), serta kesempatan ikut kursus kepenulisan dan kegiatan tur edukatif yang diselenggarakan oleh sebuah instansi pemerintah.
Baik. Mari simak kisah detilnya sebagai berikut. Siapa tahu Anda juga bisa ikut terhura sekaligus terharu?
Tertolak Oleh Batasan Usia Maksimal
GAGAL MENDAFTAR JOB
Saya pernah terpingkal-pingkal secara maraton gara-gara menyimak obrolan di sebuah WAG. WAG itu beranggotakan para blogger. Yang kerap sekaligus sebagai microinfluencer.
Tatkala itu masih dalam situasi pandemi. Masih wajib pakai hestek #dirumahsaja, #bekerjadarirumah, #pakaimasker, dan lain-lain hestek yang sejenis.
Oleh karena itu, aktivitas daring di banyak lini kehidupan meningkat. Yang semula cuma kegiatan luring menjadi didaringkan. Yang semula memang daring, frekuensi daringnya makin sering.
Pendek kata, semua yang serba daring menyebabkan banyak orang kian intensif nongkrong di dunia maya. Terlebih para blogger dan microinfluencer. Golongan ini tentu kian giat memantau tawaran-tawaran campaign dari berbagai brand.
Faktanya memang betul-betul banyak tawaran job. Hanya saja, mayoritas mensyaratkan batasan usia. Yang terbanyak, maksimal berusia 35 tahun.
Nah, itu. Gara-gara syarat usia maksimal itulah saya terpingkal-pingkal secara maraton.