Acap kali saya disalahpahami sebagai orang yang bergelimang uang oleh para orang tua teman-teman sekolah anak saya. Mulai dari teman TK hingga SMK. Penyebabnya, saya tak segan-segan mengungkapkan kekesalan pada sikap mereka yang hobi mengeluhkan biaya pendidikan anak.
Saya pikir, usai membaca alinea pertama tulisan ini pun di antara Anda sekalian sudah ada yang ikut salah paham. Malah mungkin plus kesal sebab menganggap saya sngong. Sok kaya. Tak punya empati terhadap sesama orang tua/wali siswa.
O, baiklah. Mari saya jelaskan alasan di balik ucapan dan sikap (tampak) songong tersebut.
Begini. Saya kesal karena paham betul situasinya. Beberapa di antara mereka bahkan jauh lebih kaya daripada saya. Jadi sejatinya mereka mengeluh bukan sebab hidup sangat berkekurangan, melainkan panik gara-gara sudah tiba waktunya pelunasan.
Sering kali yang terjadi, ketika punya uang malah untuk jajan-jajan dulu. Tidak diutamakan untuk melunasi atau mencicil biaya pendidikan anak. Pola pikirnya, "Nanti-nanti sajalah. Tenggat waktu masih lama. Sekarang buat yang lain dulu."
Lalu, tahu-tahu sudah tiba masanya tenggat waktu pelunasan. Alhasil kalau yang harus segera dilunasi adalah biaya studi tur atau acara perpisahan/pelepasan (yang kini latah disebut wisuda), si anak terancam tidak bisa ikut. Terpaksalah orang tua yang bersangkutan berutang agar anaknya bisa tetap ikut studi tur atau acara.
Kalau kejadiannya sudah begitu, kemudian keluar narasi-narasi yang mengibakan hati. Terlebih kalau hal tersebut menimpa anak TK dan SD. Tak jarang terlontar, "Masih bocah kecil saja macam-macam. Ada studi tur, ada wisuda, ada ini, ada itu. Sekolah enggak mau ngertiin kondisi orang tua blablabla ...."
Sementara faktanya, pada awal tahun ajaran baru sudah diberitahukan bahwa rencana biaya pendidikan anak sekian. Untuk kegiatan ini dan itu. Pelaksanaannya tanggal sekian. Sistem pembayarannya bisa dicicil. Bila ada usulan dan keberatan pun dipersilakan.
Ternyata tak ada yang menyampaikan keberatan!
Hingga kemudian waktu berjalan dan orang tua terpaksa melunasi tagihan dengan setengah hati. Iya, terpaksa. Namun, keterpaksaan itu amat patut disyukuri.
Coba kalau bersikeras tidak mau membayar dengan alasan tak punya uang? Anaknya 'kan menjadi korban. Kalaupun tidak diejek teman-temannya, yang pasti dia telah berkorban perasaan. Plus kecewa. Rasa percaya diri anak pun bisa turun.