Lihat ke Halaman Asli

Agustina Purwantini

TERVERIFIKASI

Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Toxic Positivity dari Perasaan Personal hingga Pembajakan Buku

Diperbarui: 30 Juli 2021   14:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Toxic positivity memang berbahaya. Tepatnya bahaya yang terkemas dalam kebaikan. Sepintas lalu "positivity" tampak merujuk pada sesuatu yang bernilai baik. Akan tetapi, embel-embel "toxic" jelas-jelas langsung menghempaskan nilai kebaikan tersebut. Hmm. Jadi, apa sebenarnya toxic positivity itu?

Mohon maaf, saya kesulitan merangkai sebuah definisi yang pas untuk istilah tersebut. Jadi, mari langsung simak contohnya saja.

Begini. Jika suatu saat Anda merasa demikian sedih dan frustrasi gara-gara dimarahi atasan, lalu seorang teman menghampiri sembari berkata, "Ayo semangat! Jangan cemen gitu, ah. Gitu aja nangis. Kemarin si bos malah lebih sadis marahnya ke aku. Tapi kaulihat, aku santai-santai saja 'kan?"

Perkataan si teman benar. Ia tidak berdusta. Ia pun tidak bermaksud meremehkan. Sebaliknya, ia bertujuan memotivasi agar Anda tidak lagi bersedih. Hanya saja, Anda yang tengah kalut justru merasa makin kalut mendengar perkataannya. Makin banyak ia berbicara, makin kalut perasaan Anda sebab merasa dipaksa untuk bergembira pada saat hati terluka.

Nah! Itulah yang disebut dengan toxic positivity.

Menyedihkannya, toxic positivity acap kali terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Yang lebih menyedihkan, terjadinya tanpa disadari oleh si pelaku toxic positivity. Bahkan tak jarang, orang yang menyemburkan toxic positivity merasa berjasa sebab telah menjadi motivator. Ia tak sadar bahwa korban semburan toxic positivity-nya diam-diam tergores hati. Sungguh menyebalkan.

Silakan diingat-ingat. Apakah Anda pernah menjadi korban toxic positivity? Atau, malah terlalu sering menyemburkannya? Kalau terlalu sering menyemburkannya, sudahilah perilaku berbahaya tersebut.

Trauma Curhat

Gara-gara toxic positivity saya mengalami (semacam) trauma untuk curhat kepada seseorang. Bagaimana tidak trauma kalau baru menuturkan intro curhat dengan kalimat "Mbak, aku kok merasa frustrasi ya ...", kemudian langsung disergah dengan kalimat "Orang beriman kok frustrasi. Mestinya orang beriman itu bertakwa. Enggak pernah stress ... bla-bla-bla...".

Sungguh terpana saya mendengar respons tersebut. Makin frustrasi karena merasa gagal sebagai makhluk-Nya. Perasaan ini mungkin terkesan berlebihan. Namun, bila mengingat konteksnya saat itu dan usia saya yang masih amat belia, wajar-wajar saja adanya.

Yang jelas, sejak saat itu saya lebih suka menuntaskan kesedihan dengan tangisan dalam sepi di kamar sendirian. Ya ampuuun. Kedengarannya ngenes banget, ya? Hahahaha!

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline