Lihat ke Halaman Asli

Agustina Purwantini

TERVERIFIKASI

Aktif pula di blog pribadi www.tinbejogja.com

Ketika Mereka Dipaksa Mengalah untuk Tak Melanjutkan Sekolah

Diperbarui: 11 April 2021   21:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kompasianer, apakah Anda pernah bertemu dengan anak-anak yang sejak kecilnya bersikeras untuk bekerja sebagai ART setelah lulus SD? Atau, pernahkah melihat anak perempuan yang mengalah supaya adik laki-lakinya bersekolah?

Dua kalimat tanya di atas mengawali uraian topik pilihan "Potret Pendidikan Perempuan". Kedua kalimat besutan redaktur Kompasiana (eh, redaktur atau admin ya sebutannya?) tersebut membuat ingatan saya terbang jauh ke masa silam. Masa ketika saya masih menjadi siswa SD.

Tatkala itu banyak kawan perempuan sepermainan, baik yang sepantaran maupun yang sedikit lebih tua/lebih muda ketimbang saya, tak melanjutkan sekolah selepas SD. Ada yang menjadi ART di kota (biasanya di Semarang dan Jakarta). Ada yang menjadi pelayan toko. Ada yang bekerja di warung makan. Ada yang kemudian menjadi pedagang di pasar kecamatan. Ada juga yang langsung dinikahkan oleh orang tuanya.

Yang langsung dinikahkan biasanya yang beberapa kali nunggak alias tak naik kelas. Jadi, secara usia setara dengan lulusan SMP meskipun de facto baru saja lulus SD. Tentu saja pernikahan telah direncanakan sebelum si calon mempelai perempuan lulus SD. Pelaksanaan akad nikah setelah ujian SD atau setelah penerimaan ijazah.

Pokoknya lulus enggak lulus, seberapa pun nilai ujian akhirnya, pernikahan tetap terjadi. Terlebih jika pernikahannya bersifat bayar utang. Maksudnya, orang tua punya utang yang jumlahnya sangat banyak dan utang tersebut dianggap lunas bila anak perempuannya boleh dinikahi si pemberi utang atau anak si pemberi utang. 

Pendek kata, kondisilah yang membuat mereka TERPAKSA menerima keputusan orang tua, yakni keputusan untuk tidak melanjutkan sekolah selepas SD. Tentu keputusan tersebut terkait dengan keterbatasan dana pendidikan. Kalau keluarga benar-benar miskin, semua anaknya cukup lulus SD. Ini sudah lumayan ketimbang tidak sekolah sama sekali. 

Kalau keluarga pas-pasan, setingkat di atas miskin, anak perempuanlah yang dikorbankan. Dipaksa mengalah lulus SD saja meskipun prestasi akademiknya lebih baik ketimbang adik/kakak laki-lakinya.  

Seolah-olah ada peraturan tak tertulis, yang wajib diusahakan dapat bersekolah ke jenjang lebih tinggi adalah anak laki-laki. Dengan harapan, kelak dapat mendapatkan pekerjaan yang baik. Bergaji banyak dan bisa mengangkat harkat martabat keluarga. Ironisnya, di kemudian hari saat cita-cita tersebut tercapai, ada anak laki-laki yang lupa pengorbanan saudara perempuannya.

Apakah kawan-kawan sepermainan saya itu sama sekali tak protes sebab diminta stop sekolah? Hmm. Begini. Meskipun tak pernah terdengar ribut-ribut mereka memberontak, setahu saya semua sebenarnya punya keinginan untuk melanjutkan sekolah.

Dari mana saya tahu? Dari celotehan dan curhatan mereka, dong. Semasa SMP-SMA saya masih kerap berjumpa mereka. 'Kan kami tetanggaan? Dalam kesempatan yang berlainan, masing-masing pernah melontarkan curhatan senada, "Enak ya, kamu. Bisa sekolah terus. Tidak perlu mengalah dari adik laki-lakimu. Aku sebenarnya juga ingin bersekolah tinggi. Tapi ya gimana? Orang tuaku kurang mampu. Jadinya ya aku disuruh mengalah." 

Begitulah adanya turun-temurun selama bertahun-tahun. Paling tidak, saya mengetahui kondisi tersebut hingga lulus SMA. Saat mulai kuliah di Yogyakarta hingga sekarang, saya tidak tahu perkembangan kondisi di kampung halaman. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline