Siapa yang tak mengenal mi instan dan tak pernah mencicipinya? Rasanya di zaman now mustahil ada orang yang belum terpapar mi instan. Tentu kecuali bayi-bayi yang memang belum boleh makan apa pun, ya.
Maklumlah. Eksistensi mi instan sungguh telah menggurita ke mana-mana. Merangsek hingga ke pelosok-pelosok negeri. Menembus rimba raya, bukit, dan gunung. Menyeberang lautan dan selat. Seiring dengan kian gencarnya iklan yang dilancarkan si produsen mi instan.
Terlebih sekarang mi instan, baik yang edisi rebus maupun edisi goreng, punya varian rasa yang makin banyak. Cerdiknya, beberapa varian rasa sengaja diambil dari aneka rupa masakan khas daerah tertentu. Misalnya mi goreng aceh, mi jawa, dan mi rasa rendang padang.
Cara berpromosi yang semilitan itu pastilah memanen hasil yang sepadan. Faktanya, berdasarkan catatan World Instant Noodle Association, pada tahun 2019 Indonesia menghabiskan 12 miliar porsi mi instan. Berada di urutan kedua setelah Cina, yang konsumsi mi instannya mencapai 40 miliar porsi. Wow! Luar biasa 'kan? Enggak di sono enggak di sini, citarasa gurih nikmat mi instan memang serupa candu. Bikin ketagihan bin kecanduan. Mau lagi, lagi, dan lagi.
Yeah! Mi instan memang enak dan praktis meskipun kenyataannya tak instan-instan amat ketika memasaknya. Cobalah hitung berapa menit yang dibutuhkan untuk mendidihkan air sebelum merebus mi instan.
Belum lagi kalau kita menambahkan bahan lain. Misalnya sayuran dan telur, demi tidak terlalu berkhianat pada aturan makan sehat. Jumlah menitnya akan bertambah, jumlah kerepotannya juga bertambah. Sungguh patut dipertanyakan definisi keinstanannya. Meskipun jenis instannya cukup diseduh air panas, tak perlu direbus, tetap saja kita butuh memasak air terlebih dulu jika sedang tak tersedia air panas.
Apa boleh buat? Walaupun sadar telah dikerjain oleh produsennya terkait definisi instan mi instan, toh kita tak pernah protes. Cool saja kita. Sama halnya dengan sikap kita terhadap teguran-teguran yang berisi nyinyiran tentang tidak sehatnya mi instan. Paham kalau kebanyakan mengonsumsinya tidak bagus untuk tubuh, tetapi godaan gurihnya MSG pada mi instan sungguh dahsyat. Alhasil, kita cenderung memilih tergoda.
Namun, saya punya resep spesial untuk berkelit. Supaya tak merasa terlalu berdosa, sedapat mungkin saya akan menambahkan bahan lain yang bernutrisi. Biasanya saya menambahkan sayuran dan telur. Kalau sedang punya duit lebih ya telurnya saya ganti udang. Selain itu, saya akan tambahkan susu bubuk untuk kuahnya. Nah! Saya pikir resep tersebut lumayan solutif.
Pada dasarnya saya setuju akan imbauan untuk meminimalkan konsumsi mi instan. Bukankah segala sesuatu yang berlebihan memang tak pernah baik akibatnya? Namun dalam hal konsumsi mi instan, saya punya satu pertanyaan tersendiri. Kalau memang mi instan tidak bagus untuk kesehatan tubuh ketika sering dikonsumsi, mengapa mi instan kerap menjadi bahan pangan andalan ketika kita mengirim bantuan untuk pengungsi bencana alam? Bukankah telah ada makanan instan lainnya yang dianggap lebih bergizi?
Hmm. Ada yang bisa memberikan penjelasan kepada saya?
Salam.