SEJAK tanggal 7 Maret - 7 April 2019 Keraton Yogyakarta menggelar pameran naskah kuno (manuskrip). Sungguh. Itu merupakan sebuah pameran yang menarik. Terutama bagi filolog, calon filolog, ataupun khalayak umum peminat manuskrip.
Pameran yang diselenggarakan dalam rangka Mangayubagya (Peringatan) 30 Tahun Sri Sultan HB X bertahta itu bertempat di kompleks keraton. Tepatnya di Bangsal Pagelaran, yang terletak persis di tepi selatan alun-alun utara. Itu lho, bangunan keraton yang menghadap langsung ke arah Tugu Pal Putih.
Pameran menarik ini diberi judul "Merangkai Jejak Peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat". Dan sesuai dengan judulnya, yang dipamerkan adalah benda-benda yang punya andil dalam membangun peradaban Nagari Ngayogyakarta Hadiningrat (Negeri Yogyakarta). Yakni koleksi manuskrip. Baik manuskrip-manuskrip dalam bentuk digital (kita tinggal klak klik komputer/laptop saja untuk membacanya) maupun nondigital (masih berbentuk buku tebal yang fisiknya bisa kita raba).
Mohon jangan salah sangka. Definisi manuskrip nondigital memang bisa diraba fisiknya. Akan tetapi, koleksi manuskrip yang dipamerkan itu tetap tak boleh disentuh pengunjung.
Demi mengantisipasi pengunjung yang tangannya jail, langkah preventif pun sudah dilakukan. Manuskrip-manuskrip nondigital ditaruh dalam sebuah kotak kaca yang rapat. Dan sesungguhnya, penempatan dalam kotak kaca itu juga untuk melindungi manuskrip dari debu dan suhu ruangan yang tak kondusif.
O, ya. Selain koleksi manuskrip, di situ dipajang pula beberapa koleksi nonmanuskrip. Di antaranya contoh wayang kulit, lukisan-lukisan yang mengisahkan tentang peristiwa Geger Sepehi, dan imitasi ubarampe (benda-benda khusus) yang dipergunakan dalam acara penobatan Sri Sultan HB X pada tahun 1989 silam.
Mengapa yang dipamerkan hanya imitasinya? Sebab ubarampe yang asli merupakan benda-benda sakral, yang tentunya tidak bisa diperlakukan sembarangan. Apalagi ubarampe yang asli terbuat dari emas. Jadi, mungkin demi alasan keamanan juga. Terlalu riskan untuk memajangnya di tempat umum.
Peraturan yang Bikin Fokus
Kiranya alasan keamanan pula yang menyebabkan adanya larangan membawa kamera dan gawai berkamera ke dalam ruang pameran. Mungkin dikhawatirkan timbulnya minat orang untuk mencuri koleksi-koleksi yang dipamerkan, setelah melihat foto-foto yang diunggah ke media sosial. Yeah! Dapat dimaklumi jika penyelenggara pameran tidak mau mengambil risiko besar seperti itu.
Lalu, mengapa tas juga dilarang untuk dibawa masuk ke ruang pameran? Duileee. Bukankah jawabannya sudah sangat jelas? Bila membawa tas, apalagi kalau tasnya besar semacam ransel, dengan mudah seorang pengunjung bisa menyelundupkan koleksi pameran yang diminatinya. Iya 'kan?
Meskipun kedengarannya konyol, hal seperti itu dapat saja terjadi. Sangat mungkin dilakukan oleh seseorang yang memang berniat mencuri.
Ambil hikmahnya saja. Paling tidak, tanpa tas gerakan kita di ruang pameran bisa lebih leluasa. Tidak berpotensi nabrak-nabrak ataupun menggores koleksi pameran tanpa sengaja. Yang jelas, tanpa ketiga benda terlarang itu kita bisa lebih fokus menyimak penjelasan dari para pemandu pameran. Tidak tergoda untuk berswafoto ria di dekat manuskrip. Haha!