TAK terbantahkan lagi. Bagi wisatawan yang mengunjungi Jogja, batik menjadi salah satu item yang wajib dibeli. Baik dibeli untuk dijadikan koleksi pribadi maupun untuk dijadikan sebagai buah tangan bagi orang-orang terkasih. Apalagi kalau sang wisatawan berasal dari daerah yang sangat jauh dari Jogja. Wah! Batik seakan-akan menjadi item wajib borong.
Iya, ternyata begitu. Saya berani menyatakan demikian sebab pernah melakukan survei serius namun santai melalui status FB. Kala itu saya menanyakan tentang oleh-oleh favorit tatkala berkunjung ke Jogja. Eh? Ternyata banyak sekali yang meresponsnya. Dan, batik menjadi jawaban yang sangat mendominasi. Jauh mengalahkan bakpia dan kenangan. Hehehe ....
Faktanya? Faktanya memang begitu. Aneka rupa batik dijual di mana-mana di seantero Jogja. Mulai dari yang batik sungguhan hingga batik jadi-jadian. Tak usah bingung dengan kedua istilah tersebut. Mari saya jelaskan sepintas.
Yang saya sebut batik sungguhan adalah batik tulis dan batik cap. Yakni karya batik yang dibuat melalui proses pemalaman (pemberian malam/parafin), pencelupan (pewarnaan), dan pelorotan (melepaskan malam dari kain). Maka batik sungguhan butuh waktu sekian lama untuk diproduksi. Sama sekali tidak bisa instan sebab dibikin secara personal. Sebelas tiga belas dengan lukisan dan karya seni lainnya.
Sementara batik jadi-jadian adalah karya yang menyerupai batik; tekstil yang bermotif batik. Bukan batik beneran. Tidak melalui proses pemalaman dan pelorotan. Dibikin dengan mesin yang dalam satu menitnya bisa memproduksi sekian lembar tekstil motif batik. Mohon digarisbawahi, ya. Hanya menyerupai batik; bukan batik. Itulah sebabnya saya sebut batik jadi-jadian.
Aneka Solusi yang Ditawarkan oleh Batik Adiningrat
Berdasarkan cara dan waktu penyelesaiannya, harga batik sungguhan dan batik jadi-jadian punya kasta yang berbeda. Yang batik sungguhan tentu lebih mahal. Wajarlah. Ada harga ada rupa 'kan? Keduanya pun tak perlu diperbandingkan. Sebab menurut saya, keduanya berlainan segmentasi. Berlainan pula tujuan pembelian dan penjualannya. Maka tidak pada tempatnya bila saling dibenturkan.
Ah, sudahlah. Apa pun itu, kenyataannya mayoritas wisatawan tidak rewel. Secara umum mereka tahu diri. Bila ingin membeli batik sungguhan ya mesti siap merogoh kocek lebih dalam. Belanjanya pun di tempat yang memang bukan sembarangan. Misalnya di toko batik yang representatif atau malah sekalian di butik yang barang jualannya elegan. Yang batiknya dijamin merupakan batik sungguhan.
Sebaliknya yang membawa uang saku pas-pasan, ya belanjanya bukan di toko batik sekelas butik. Bahkan, tempat penjualan yang menerapkan sistem tawar-menawar bisa menjadi pilihan jitu. Untuk wisatawan yang gemar dan pandai menawar, tentu bakalan bisa memperoleh batik bermutu asyik dengan harga yang ramah dengan isi kantongnya.
Lalu, bagaimana halnya dengan wisatawan yang tak pandai menawar namun berduit mepet? Masih ketambahan pula tak paham lika-liku dunia perbatikan. Sementara inginnya mendapatkan batik sungguhan yang murah meriah, tapi kualitasnya tak murahan.
Hmmm. Kiranya mereka tak perlu galau-galau lagi. Tinggal datang ke Malioboro, menikmati sensasi jalan yang menjadi ikon Jogja itu. Lhooo? Kok? Tenanglah dulu. Maksud saya, selain menikmati serunya suasana Malioboro itu ya sembari mencari lokasi toko Batik Adiningrat. Kalau sudah ketemu, langsung saja memasukinya dan mengeksplorasi isinya.