Rinai ini terdengar dari dalam kamar kecilku. Mengenai dedaunan yang ada di taman tengah rumah. Kakiku beranjak keluar terkena rayuan rinai itu. Saat kulihat, langit begitu ingin mengeluarkan rinai-rinainya lebih. Namun entah kenapa terlihat ragu. Aku mendekati kolam ikan dengan teratai yang menguncup di tengahnya. Daunnya pun menutupi ikan-ikan kecil yang bergembira menyambut rinai hujan itu.
Begitu khas suara rinai yang bertemu dengan air di dalam kolam. Aku begitu merindukan rinai ini hingga aku meluapkannya dengan menengadah menyambutnya. Tak kusangka, ada sosok keluar dari lorong gelap. Bagaimana aku tak terkejut, dengan suara bariton yang memecah suasana damai bersama rinai ini.
“ Apa kamu sudah berteman dengannya?” Tanya lelaki itu mendekatiku.
“ Aku sudah berteman. Apa tidak terlihat keakraban kami ini?” Jawabku mengerutkan alis.
Laki-laki itu adalah kekasihku. Terheran dan akhirnya bertanya padaku tentang sang rinai. Dia masih mencari tahu tentang rinai hujan, berawal saat dia mengenalku. Dia sudah di dekatku, di dekatku yang sedang menikmati rinai hujan ini. Dia masih enggan untuk menyapa sang rinai yang begitu menyenangakan hati ini.
“ Aku belum mau menyentuhnya.” Ucapnya singkat.
“ Tak apa, mungkin kau akan menyukainya setelah kau agak mengenalnya dan menjadi candu untuk menyentuhnya.”
“ Entah, aku tak yakin.”
Suatu senja, aku berada dalam ruangan yang begitu dingin. Berteman cangkir kopi yang isinya tinggal separuhnya. Ya, kalian benar. Aku menunggu, kekasihku tak kunjung datang. Kami sepakat bertemu senja ini. Bukan membicarakan rinai hujan yang masih enggan ia sentuh, tapi untuk kumpulan detik. Begitu gugup aku menanti pembicaraan ini, bertambah gugup saat pasir ini terus jatuh butir per butir. Hingga aku harus membalikkan posisinya kembali agar terus dapat berjalan.
Kulihat dari kaca yang mulai berembun karena suhu dingin di ruangan ini, kekasihku berjalan. Tangannya ia singkap dalam kantong jaket mantelnya. Sepertinya ia disapa rinai hujan dalam perjalanan. Terlihat dari rambutnya yang terkena butiran rinai, terkesan dingin. Ia pun menghampiriku. Melihat ke arah meja bundar berbahan bambu hitam.
“ Bagaimana dengan kopimu?” Awal kalimat yang cukup hangat.
“ Lihat, dia menemaniku dengan baik. Kau bisa menyapanya.” Jawabku dengan menyilangkan kaki.
“ Aku bisa melihat betapa baiknya dia menemani kasihku.”
Setelah itu kami berdua diam. Entah apa penyebabnya, sepertinya tidak begitu buruk awal yang kami buat. Terdengar rintik hujan yang begitu tajam menusuk aspal dan tanah. Mengenai kaca yang berada tepat disampingku. Kencang betul suara yang ia hasilkan saat membentur beningnya kaca ini.
“ Lihat dia berusaha menyapaku bukan? Bisa percaya bahwa kami telah berteman sekarang?” Dua pertanyaan yang kucoba untuk mengusir diam antara kami.