Lihat ke Halaman Asli

Bahasa dan Akhlak, Ketika Mudah Mengatakan "Gobl*k"

Diperbarui: 5 Desember 2024   14:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kata "goblok" berasal dari bahasa Jawa yang umumnya digunakan untuk menyebut seseorang yang dianggap bodoh, tidak berpengetahuan, atau tidak dapat mengerjakan sesuatu dengan benar. Dalam budaya berbahasa, kata-kata seperti ini seharusnya disampaikan dengan penuh kehati-hatian, karena dapat menyinggung perasaan orang lain. Salah satu pepatah lama yang sering kita dengar adalah "berpikir sebelum berbicara." 

Ucapan yang kita lontarkan, baik yang dianggap ringan maupun serius, dapat membentuk kebiasaan dan mencerminkan akhlak lisan kita. Oleh karena itu, penting untuk menjaga lisan kita agar tidak menyakiti diri sendiri atau orang lain dengan kata-kata yang tidak pantas.

Seorang pemuka agama, yang seharusnya menjadi teladan dalam akhlak dan dakwah, tentu diharapkan untuk menyebarkan pesan damai dengan berbicara secara bijaksana. Namun, baru baru ini, publik dihebohkan oleh Gus Miftah, pendakwah yang sering banyak dihadiri jamaah. Dalam sebuah video yang viral, Gus Miftah terlihat sedang berbicara dengan seorang penjual air mineral dan es teh yang berdiri di antara para jamaah. 

Gus Miftah berkata, "Es tehmu sih akeh (masih banyak) nggak? Ya sana jual gobl*k,". Ucapan ini langsung memicu keramaian di media sosial, dengan banyak warganet yang terkejut dengan kata-kata tersebut, apalagi dilontarkan oleh seorang tokoh agama.

Reaksi netizen menunjukkan bahwa penggunaan ucapan tersebut dengan maksud candaan adalah darurat adab yang menormalisasikan berbagai bentuk candaan. Dalam Islam, bercanda memang diperbolehkan, tetapi harus tetap dalam batasan yang tidak merendahkan atau menyakiti perasaan orang lain. 

Menggunakan kata-kata negatif seperti "goblok" bisa berpotensi merusak keharmonisan dan menciptakan perasaan tersinggung. Kejadian ini memunculkan pertanyaan tentang mengapa seorang pemuka agama bisa dengan mudah mengucapkan kata tersebut. Apakah ini menjadi kebiasaan yang sudah terlontar tanpa pemikiran lebih dalam?

Kembali kepada akhlak, Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sungguh aku diutus sebagai rasul tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak," dan dalam hadits lain, "Orang yang sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya" (HR. Ahmad, No. 6781). Hal ini menunjukkan bahwa akhlak, terutama dalam berbicara, adalah cerminan dari kualitas iman seseorang. 

Dalam ajaran tasawuf, dakwah tidak hanya bertugas mengajarkan ilmu, tetapi juga menunjukkan akhlak yang baik melalui setiap kata dan tindakannya. Humor memang bisa menjadi cara efektif untuk menarik perhatian, namun jika disampaikan dengan cara yang merendahkan, itu tidak akan pernah sejalan dengan tujuan dakwah yang seharusnya mendamaikan.

Dari peristiwa tersebut, kita bisa belajar bahwa setiap kata yang kita ucapkan harus diperhatikan dengan penuh kehati-hatian. Bahasa yang kasar dan tidak pantas tidak hanya bertentangan dengan nilai akhlak, tetapi juga bisa merusak hubungan sosial. 

Dalam tasawuf, kedudukan akhlak jauh lebih tinggi daripada ilmu. Oleh karena itu, menjaga lisan dengan berkata baik atau diam adalah prinsip yang harus dijaga oleh setiap Muslim, terutama oleh mereka yang menjadi panutan bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline