Jarum adalah sesuatu yang umum biasa ditemukan di rumah-rumah kita, ianya dibutuhkan ketika ada pakaian/ celana yang jahitannya butuh perbaikan, biasanya anak kancing. Namun kalau jarum emas, ini pasti sesuatu yang tidak umum dan mungkin belum tentu di antara 1000 rumah tangga memiliki jarum emas.
Adalah situs Pulau Sawah, sebuah situs Buddha yang terletak di Sumatra Barat, tepatnya di Sijunjung, Dharmasraya, jarum emas pernah ditemukan di daerah ini. Pada awalnya situs ini dikaitkan dengan keberadaan Adityawarman yang berkuasa sekitar abad ke-14 M. Namun dalam perjalanan waktu, penelitian arkeologi yang dilakukan di situs ini menunjukkan bahwa situs ini sudah eksis sejak abad ke-9 M yakni ketika Sriwijaya berkuasa.
Sriwijaya selain pusat kerajaan juga menjadi pusat studi buddhisme di Asia Tenggara yang pengaruhnya cukup besar sehingga tidak heran It-Ching menganjurkan agar mereka yang ingin belajar agama Buddha di India (Nalanda) dianjurkan untuk belajar bahasa Sangsakerta dahulu di Sriwijaya.
Tampaknya keberadaan situs ini di pedalaman Sumatra juga tidak terlepas dari pengaruh Sriwijaya karena temuan arca-arca di Situs Pulau sawah juga memperlihatkan kemiripan dengan aliran buddhisme yang berkembang di Sriwijaya yakni Tantrayana.
Penelitian arkeologi yang dilakukan di Pulau Sawah tahun 2016-2018 lalu menemukan satu bangunan (stupa) yang di sekeliling pondasinya ditanam sejumlah periuk tanah liat tanpa tutup yang terisi tanah. Periuk yang ditanam di sekitar candi biasanya dikenali sebagai wadah peripih. Beberapa periuk yang telah diangkat dan rencananya dikeluarkan lapisan tanahnya untuk diketahui isinya.
Di dalam salah satu periuk yang telah dibuka, berisi satu jarum emas sepanjang 3 cm. Bagian atas jarum terdapat lubang kecil untuk memasukan benang dan pada bagian bawah dibuat runcing sayangnya ujung jarum emas ini kelihatan sudah rusak/ terpecah dua. Jarum tampak sudah tidak lurus dan melengkung di ujung bawah, tetapi juga terlalu riskan untuk diluruskan mengingat setidaknya ada dua titik retakan (fraktura) di bagian batang jarum yang jika dipaksakan juga dapat mengakibatkan batang jarum menjadi patah.
Masalahnya kenapa jarum emas diletakan di dalam periuk ? Adakah ini terkait dengan upacara pensucian bangunan suci atau ada hubungannya dengan kematian tokoh Buddha tertentu? Tujuan dari pembangunan stupa sebenarnya dimaksudkan untuk menyimpan relik dari tokoh Buddha, kitab suci, atau segala hal yang dapat memancarkan kekuatan suci.
Di India, praktek mendirikan stupa merupakan suatu tradisi yang berlangsung sejak ribuan tahun yang lalu bahkan sebelum zaman Sang Buddha yang dikenal sebagai caitya atau dhtugarbha. Stupa kemudian diperuntukan menyimpan relik jasmaniah (dhtus) yang pembangunannya diperintahkan oleh Buddha di dalam Kitab Mahaparinibbana Sutta. (Dorjee, 2001:viii).
Praktek upacara penguburan di dalam agama Buddha dilakukan dengan melakukan kremasi. Tradisi mengkremasi seseorang yang meninggal sebelumnya tidak dikenal di Nusantara dan tradisi ini diperkenalkan oleh agama Buddha ke Nusantara. Selain itu perlakuan mengkremasi jenazah juga dicontohkan pada tubuh Buddha Gautama yang kemudian abu jenazahnya disimpan di delapan stupa berbeda di India (Blum, 2004:205).
Jika seorang tokoh Buddha wafat, semua benda-benda yang dimiliki oleh tokoh Buddha semasa hidupnya yang dalam ajaran Buddha disebut sebagai paribhoga dimasukkan ke dalam wadah terakota. Wadah yang berisi abu dan paribhoga ini disebut sebagai ritual vessel atau garbhaptra. Garbhaptra biasa digunakan di dalam kegiatan pembangunan candi.
Garbha memiliki arti benih atau rahim, jadi garbhaptra adalah wadah untuk menempatkan benih. Benih yang akan membuat sesuatu yang tidak berwujud menjadi berwujud. Pengorbanan para bhiksu akan menjadi penyebab tumbuhnya benih yang akan menghidupkan candi (Kramrish, 1946: 126). Abu jenasah beserta paribhoganya yang diletakan di dalam garbhaptra ini kemudian akan disimpan di dalam stupa.