"Emak bukan memaksamu, Nang. Tapi, lihatlah kondisi bapakmu," ucap emak lirih. Sesekali emak meniup perapian di tungku. Aku memberikan pengaduk nasi yang terbuat dari kayu kepadanya.
"Iya, Mak. Danang tahu. Hanya saja, Danang ingin fokus dulu di perkebunan." Aku membenahi posisi duduk. Bapak yang kondisinya makin parah tetap tak membuat rasa sakit ini hilang begitu saja. Kutahu Dewi, anak semata wayang Pak Rendra, tak sebaik yang dikira emak dan bapak.
Aku menepi ke pintu belakang, menimba air untuk berwudhlu. Kicauan burung bersahutan di dahan-dahan dadap ikut mengantar petang. Matahari mulai melipir ke balik bukit. Sejenak kutatap pematang yang penuh dengan rimbunan kopi. Putih-putih bunganya, menebar aroma sedap petang ini. Tapi, aroma hatiku berbeda.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H