Suatu ketika Bunda Teresa berkata kepada para suster yuniornya yang terlihat merasa jijik dan mual saat mendampinya merawat seorang pria yang luka parah. "Bila saya tidak percaya dengan segenap hati dan jiwa bahwa tubuh orang ini adalah tubuh Yesus, saya tidak akan tahan barang sejenak."
Memang, pada luka besar di kaki pria yang sudah lemah tersebut banyak dipenuhi lalat dengan telurnya. Bunda Teresa juga harus menarik keluar larva putih yang terayun-ayun satu demi satu dan kemudian mensterilkan serta membalut lukanya. Bunda selalu mengingatkan diri sendiri bahwa saat dia menolong orang itu sama saja menolong Yesus, sehingga pemandangan yang menjijikan dan bau yang menyengat bukan lagi menjadi penghalang. Justru membuatnya semakin kuat untuk mengasihi sesama.
Dari kitab suci kita juga mengenal bahwa kasih itu sabar, murah hati, dan tidak cemburu. Kasih tidak bersukacita karena ketidakadilan, tetapi karena kebenaran. Kasih akan ada selamanya, tidak berkesudahan. Namun, Yesus menginginkan lebih jauh lagi. Dia meminta kepada kita, selaku muridNya untuk saling mengasihi sesama. "Inilah perintahKu kepadamu: Kasihilah seseorang akan yang lain" (Yoh.15:17).
Jelas sekali bahwa Yesus menginginkan kasih tidak sekedar diucapkan. Tidak hanya sebatas konsep, namun haruslah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, kasih haruslah berbuah pelayanan, yang kemudian akan bermuara kepada pengharapan dan kedamaian bagi sesama. Apalagi sejatinya DNA Kasih sudah ada dalam diri manusia sejak semula, karena kasih berasal dari Allah (1Yoh4:7).
Yesus telah mengawali dengan mencurahkan kasihNya kepada kita. Bahka Dia telah memberi kasih yang terbesar, sebab tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya (Yoh.15:13). Kita adalah sahabat Yesus yang telah menerima kasih terbesarNya demi pengharapan akan keselamatan kehidupan kekal.
Untuk itu, kitapun wajib mengasihi sesama. Kasih yang sudah ada dalam DNA kita wajib dikeluarkan agar berbuah. Dengan kasih, maka sekecil apapun pelayanan kita akan tetap bermakna, karena bukan berapa besar yang diperbuat, tetapi seberapa besar kasih yang ada dalam perbuatan itu. Bukan berapa banyak yang kita beri, tetapi seberapa besar kasih yang mendasari pemberian itu.
Jadi, bukan karena 'pamrih' apapun termasuk 'pamrih' Surga, namun yang utama adalah kasih harus menjadi landasan sekaligus bingkai dalam setiap pikiran, ucapan dan tindakan sehari-hari.
Semoga iman, pengharapan dan kasih selalu menaungi kita semua. Amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H