Lihat ke Halaman Asli

Negeri yang Lain

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kau tak akan mengira aku berada di negeri apa. Dimana penghuninya adalah usia sebaya; tidak ada tua atau balita. Semua muda. kadang aku berpikir aku tersesat ke surga. Berbeda dengan mimpiku sebelumnya, ini jauh lebih aneh dan nyata.

Awalnya aku tiba-tiba saja ada di ruang tamu sebuah rumah tua tak berpenghuni. Tak ada perabotan atau apapun disini. Kosong. Mulanya aku merasa takut. Ngeri. Aku tak mau beranjak kemana-mana kecuali di ruang tamu yang ada cahayanya. Karena aku tahu biasanya kalau ditempat-tempat gelap. Di sudut-sudut kamar yang pengap. Selalu ada penampakan besar-besaran yang membuat lariku tak kuat cepat. Salah satu cara adalah aku harus mencari pintu keluar. Agar aku terbebas dari kegelapan. Aku tahu gelap itu misterius. Tidak akan mengira kita akan bertemu apa dan siapa di dalamnya.

Aku berhasil mencapai pintu keluar.

Memang benar di alam terbuka; penampakan tak akan telihat. Sekarang aku tiba-tiba berada di sebuah bukit kosong. Hijau. Luas. Dan dihadapanku tergenang air besar. Ku kira danau karena tak berombak. Tapi ku kira laut karena tak ku lihat ujung tepinya. Tak jelas.

Penghuninya adalah kaum muda semua. Sengaja dipisah antara gadis dan perjaka. Kaum pria ada di pegunungan sebelah kiri. Dan kaum gadis ada di sebelah kanan. Dan suatu waktu kami bisa bertemu di tempat yang telah direncanakan.

Aku baru saja tiba di tempat luas ini. masih ragu apakah ini mimpi atau alamnya mimpi. Atau surga barangkali. Atau aku telah mati dalam tidur malam ini. aku tidak tahu bagaimana caranya agar aku terbebas dari tempat ini. dari mimpi ini. seperti terkunci dalam dimensi mimpi. Selamanya. entahlah antara mau atau tidak aku ingin dulu tinggal di tempat yang tenang ini.

Aku menghampiri beberapa pemuda yang tidak bekerja. Sejauh mata memandang hanya beberapa rumah saja yang berukuran kecil dan sederhana. Seperti dalam film Cina. Tak banyak bangunan dan tak ada jalan.

“Kalian siapa? Ini negeri apa?” Aku bertanya pada pemuda yang paling besar dan gagah diantaranya.

Seketika langit gempar. Aku melihat goresan hitam seperti jejak kapal di langit. Lalu seperti bergerak hidup dan munculah naga hitam. Langit mulai hitam dan aku mulai takut. Suara beberapa pemuda yang awalnya ramah terdengar membentak dengan keras dan memasang muka marah.

“Di tempat ini bertanya adalah larangan!” Salah satu pemuda yang tidak ikut marah menghampiriku dan membawaku beberapa langkah ke belakang. Seakan memberi arti jangan mendekati singa yang marah.

“Kenapa?” aku keceplosan dan malah bertanya lagi “Ups!”

“Aku mohon maaf..” aku berusaha menentramkan amarah para pemuda serta langit yang gelap gulita.

Aku berulang kali memohon maaf dan tak lagi-lagi berkata apa; bagaimana; mengapa; kapan; dimana dan siapa. Ini aneh tapi aku terus saja memohon maaf hingga langit mulai menyingkirkan elemen hitam di warnanya; sang naga yang belum terlalu kelihatan pun hilang bersama garis hitam yang pudar.

Sebenarnya aku penasaran. penasaran “k... bisa seperti itu..” dan “b... kalau aku melanggarnya terlalu jauh. Sebuah ujian luar biasa jika kamu jadi wartawan.

Mungkin ini adalah salah satu kearifan lokal daerah tak bernama ini. entahlah. Dan selama aku berkeliling disini tak pernah aku lihat angka atau huruf dimanapun; nomor rumah sekalipun. Salah satu cara aman adalah aku harus menahan rasa penasaran dan mematuhi perintah.

Setelah kejadian itu aku tak lagi bisa berlama-lama berkumpul dengan para bujangan. Takut keceplosan karena sipat ku yang selalu ingin tahu. Terkecuali dia yang tak terpengaruh keramat itu. Seorang pemuda seusia yang lebih putih wajahnya. Entahlah. Dia seperti bukan bagian dari suku ini.

Kawan yang tak aku kenal namanya. Karena bertanya saja aku susah. Ia setia menemaniku kemanapun aku pergi. Jangan-jangan ia mata-mata. Semoga tidak.

Sampailah pada satu bangunan seperti raja-raja romawi; mirip pelataran mesjid. Berkeramik putih seperti tempat aku mengaji. Kami para bujangan bertemu dengan para gadis. Kami saling berkelompok dan tidak ada yang berbaur.

Aku dan ia bersama rombongan masing-masing. Bersama menikmati hamparan air besar yang tak terlihat gemuruh ombaknya. salah satu gadis seperti yang pernah aku kenal. Bercerita padaku. Aku tau ia baru saja ke tempat ini. senasib tapi mencurigakan. Apakah ia juga bermimpi ke tempat ini? atau ia adalah salah satu tokoh yang dibentuk oleh khayalan.

Celaka? Ia malah banyak bertanya. Namaku? Dan segala rupa pertanyaan yang menandakan ia tidak tahu larangan tempat ini. aku buru-buru memperingatkan sebelum garis hitam di langir berubah menjadi naga. Ia mulai paham.

Setelah pertemuan ini aku kembali pada kaum ku. Tanpa pernah bicara apapun.

Lambat laun. Setelah tak ada komunikasi yang aku lakukan. Aku mulai sadar jika pikiranku bisa menjelma menjadi nyata. Aku bisa membuat apa saja dengan pikiran. Maka aku mulai membangun jembatan. Bangunan. Mall. Kantor. Dan kota metropolitan. Aku seperti melukis di kain kanvas. Tinggal membayangkan saja lalu jadi nyata sekejap mata. Orang-orang mulai berdatangan dan bertanya ini itu. Alhasil larangan keramat itu entah kenapa tidak mereka tentang. Dan tidak terjadi apa-apa anehnya.

Ini peluang bisnis. Pikirku. Aku mendapatkan ceruk pasar yang bagus. Maka aku segera mengadakan promosi besar-besaran. Aku memperkenalkan sabun detergen; mesin cuci dan segala macam alat canggih yang masih aku ingat. Mereka tertarik! Aku bisa jadi kaya kalau begitu. Kawanku jadi asistenku. Mereka yang mengatur agar orang-orang tertib berkumpul.

Aku mulai senang dengan kelebihan ini. aku satu-satunya yang bisa mengendalikan pikiran. Bayangkan! Mulanya aku membagi-bagikan peralatan; tapi tidak aku mau menjualnya saja. Ini peluang pasar yang besar!

Disaat aku sedang asik-asiknya mencoba kekuatanku mengendalikan pikiran menciptakan bangunan dan barang-barang elektronik. Aku seketika ingat rumah. tiba-tiba aku terbangun. Pikiran ku yang membawa ku pulang ke dunia nyata. Kembali. Dan memang ini hanya mimpi.

Shubuh itu aku coba pejamkan mata; tapi tidak ku temukan lagi negeri tak bernama itu.

Mau bagaimana lagi aku telah meninggalkan mereka dan negerinya. Aku tidak bisa lagi ke sana. Aku tak tahu caranya. Sekarang aku kepikiran apa yang akan terjadi setelah pembangunan besar-besaran itu. Semoga mereka masih damai dan tentram! Atau malah aku membawa pengaruh buruk pada lingkungan??

Mimpi yang berbeda, kan!?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline