Lihat ke Halaman Asli

Rosa

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:29

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pelajaran apa yang kudapatkan; ketika sadar pilihan jalan tidak sesuai dengan keinginan; malas mencekam dan tertunduk tak ada harapan; hilang keinginan untuk terbang tinggi; seakan cukup saja bertani di bumi.

Cita-cita yang sejak kecil gampang aku sebutkan; sekarang nampak pahit ku telan. Berawal dari novel semoga bunda di sayang Allah; hatiku seakan senang membacanya sampai tuntas; aku baru tahu jika novel kini bukan sekedar karya sastra yang sulit dicerna. Tapi ternyata enak juga dibaca. Setiap sore sehabis bekerja langsung ku baca; kulahap setiap halaman dengan imajinasi yang tak pernah hilang; tokoh-tokohnya sangat aku kenal; detail ceritanya tak pernah aku sangka; alur ceritanya begitu mengagetkan; aku seperti dihadapkan pada layar besar di bioskop 21.

Jagoanku dalam dunia tulis menulis adalah bang darwis; sapaan manis buat yang bernama lengkap Darwis Tere Liye. Begitu ditulisnya pada sampul buku yang kukira seorang cewe. Jagoanku yang lain adalah Ahmad Fuadi; sering disingkat dengan A.Fuadi; kedua bukunya aku lahap dengan perasaan terbawa pada suasana cerita; bagaimana aku sebagai Alif yang merasa sama senasib seperjuangan; bertolak keinginan antara ayah dan ibu; meninggalkan kawan yang sudah aku anggap saingan; karena begitu memotivasi untukku berbuat lebih jika bersama dia; mencoba pertama kali berlayar di lautan lepas; dengan sebelumnya naik bus hingga sehari semalam; aku sungguh tidak kuat menerapkan dalam kenyataan jika posisi dudukku diapit penjual ayam; sayuran dan bau-bau yang memabukkan. Aku berlayar dengan deru ombak yang meronta-ronta kapal. Dan ayah yang mengapit ku hangat-hangat. Bagaimana ia memperjuangkan cita-cita anaknya. Bagaimana ibunda dengan do’a dan menyiapkan makanan untuk bekal; sebuah rendang kesukaanku. Aku seperti dibuatnya nyata.

Bersama kawan-kawanku di UKM LDK lembaga dakwah kampus aku banyak bercerita tentang kekagumanku; penemuanku terhadap novel-novel yang aku baca; sampai aku ingin merekomendasikan novel tersebut pada kawan-kawan lain. Aku yang seperti baru saja ditenggelamkan ke lautan dasar dan melihat keajaiba-keajaiban bawah laut. Tak henti-hentinya bercerita. Seperti kerinduan yang ingin disampaikan.

Hidup memang bukan seperti novel; meski banyak kebaikan-kebaikan yang diceritakan. Itu hanyalah fiktif semata. Akan kalah dengan satu kebaikan yang dilakukan dalam dunia nyata. Itu kata bang Tere. “Maka pinjamkanlah!” Katanya.

Aku tersesat dalam arus yang ramah; tantangan yang memikat dan pemandangan yang indah; meski lelah. Aku salah pilih jurusan; aku mau pindah. Tapi ;;

Aku sudah tingkat empat sebentar lagi seminar proposal. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan; aku memilih antara mengerjakan sesuatu yang tak aku sukai atau aku terjun ke dasar lautan yang seperti indah kelihatannya. Aku dilema.

Aku kalah oleh kenyataan kalau aku sudah tingkat empat; sedang biaya kuliah empat tahun tidak akan mudah diringkas jadi sebentar saja. Aku menyesal. Tapi apa yang harus aku lakukan?

Aku melangkah tak pasti; berbuat tapi tak berminat; melangkah kesana; tapi resiko besar menanti semua sisi. Aku hidup tidak sendiri; ada ayah bagaimana aku menjelaskannya; ada ibu bagaimana aku menjelaskannya; ada keluarga yang lain bagaimana aku menjelaskannya. Sedang aku pun susah menjelaskannya.

Apa benar rumput tetangga lebih hijau. Atau aku memang sudah masuk ke rumput tetangga. Dan ingin kembali ke pekarangan sendiri. Yang sesuai minat dan bakat.

Sungguh aku butuh psikiater. Aku bisa benar-benar gila jika harus berpikir sendiri; Memutuskan sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline