Ada pendapat dikalangan umat, bahwa belum kaffah keIslaman seseorang apabila tidak terbersit keinginan untuk berada di negara yang diperintah berdasarkan syari'at. Pendapat ini sudah diterima dan digaungkan bersamaan dengan hadirnya kesultanan di Nusantara, berlanjut pada masa pra kemerdekaan dengan munculnya Piagam Jakarta. Pasca kemerdekaan, tercatat tokoh Kartosuwiryo, Daud Beureueh dan Kahar Mudzakar menyuarakan syari'at Islam meski dengan cara inkonstitusional. Semua gerakan ini kemudian tertunda, namun semangat tetap menyala.
Melalui sejarahnya, Aceh telah mencatatkan bagaimana semangat penerapan Syari'ah itu tidak pernah padam. Saat ini Sang Maha Pengasih telah memberi karunia kepada masyarakat Aceh, memberi kesempatan berpemerintahan Syari'ah. Karunia besar seakan menebus penderitaan panjang selama Perang Kolonial, pemberontakan sepanjang enam masa presiden. Diakhiri sebuah cobaan yang luas biasa saat bencana selama satu jam, mampu menelan korban duapuluh kali lipat dari jumlah korban tigapuluh tahun konflik.
Disahkannya Undang-Undang Pemerintahan Aceh yang mengatur Pemerintahan berdasar Syari'ah adalah sebuah karunia besar bagi Masyarakat Aceh. Satu wujud nyata pengakuan Pemerintah Pusat terhadap keistimewaan Aceh, terkait dengan salah satu karakter khas sejarah perjuangan masyarakat Aceh yang memiliki ketahanan dan daya juang yang tinggi. Tingginya daya juang bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari'at Islam, kemudian melahirkan budaya Islam, sehingga Aceh menjadi modal bagi perjuangan dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Berbicara Aceh tentu tidak terlepas dari sejarah penyebaran Islam pertama di Nusantara. Seolah mengulang sejarah banyak yang berharap semangat syari'ah akan tersebar sebagaimana Dimulai Kerajaan Samudera Pasai. Banyak wilayah tidak memiliki kemewahan seperti Aceh untuk menerapkan syari'ah . Sesuai janji Yang Maha Perkasa keberhasilan menerapkan syari'ah akan menghadirkan negeri yang baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur. Sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dari perilaku pemimpin dan penduduknya. Kebahagiaan dunia berupa kesejahteraan akan dirasakan di dunia dan kebahagiaan hakiki di akhirat, sebagaimana doa, berikanlah kebaikan dunia dan kebaikan akhirat.
Pandangan mata pejuang maupun pembenci syari'ah saat ini tertuju ke Aceh. Para pejuang ingin melihat syari'ah akan memberikan kesejahteraan di dunia. Sementara para pembenci berharap sebaliknya. Jika diibaratkan sebuah toko, Aceh menjadi etalase syari'ah yang menjajakan hidangan kebijakan untuk kebahagiaan di dunia tanpa melupakan akhirat. Ujian yang begitu berat bagi Pemerintah dan masyarakat Aceh. Keberhasilan Pemerintah Aceh menyejahterakan masyarakat akan membuka peluang perluasan syari'ah ke wilayah lain di seluruh Indonesia. Sebaliknya. Kegagalan menyejahterakan masyarakat akan dianggap bahwa syari'ah tidak cocok di sini.
Hampir duapuluh tahun Undang-Undang Pemerintahan Aceh berjalan, beberapa pencapaian telah terlihat. Penerapan kebijakan syari'ah secara konsisten berupa pelarangan dan hukuman bagi peminum alkohol, diyakini telah menjadi bagian dari rendahnya angka kriminalitas. Keharaman alkohol sangat bernuansa akhirat ketika peminumnya akan disiksa diakhirat kelak, namun di dunia telah memberikan dampak kebaikan berupa keamanan yang dirasakan oleh semua masyarakat.
Dalam bidang ekonomi, kebijakan pelarangan riba telah berhasil meniadakan bank konvensional yang beroperasi di Aceh. Dampaknya, tidak terdengar adanya rentenir yang menjerat masyarakat kecil seperti di daerah lain. Berbeda dengan pelarangan alkohol, kebijakan bank syari'ah belum dapat diukur efek yang signifikan pada perkembangan ekonomi daerah. Investasi berbasis bagi hasilbelum terlihat menonjol untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Peran bank syariah yang sudah terasa adalah kredit konsumsi. Meski menggunakan pendekatan bunga yang berbau riba dalam menghitung keuntungannya masih tertolong akad jual beli dengan nilai bunga yang lebih kecil.
Sebagai penggerak utama perekonomian makro, Belanja Pemerintah juga belum dapat digunakan secara optimal. Pada tahun 2023 pagu anggaran Pemerintah aceh menyentuh angka Rp.41,8T, dengan realisasi anggaran hingga akhir Desember sebesar Rp.28,9 T atau 69 persen. Penyerapan anggaran didominasi oleh belanja pegawai yang mencapai Rp.11.5 T atau 39 persen dari total belanja. Rendahnya kemampuan belanja, secara langsung menutup peluang peningkatan kesejahteraan.
Dominasi Belanja Pemerintah pada belanja pegawai sangat berpotensi menaikan kesenjangan masyarakat. Penduduk Aceh berjumlah 5,5 juta orang dengan Pegawai Pemerintah berjumlah 135 ribu orang. Dengan perhitungan sederhana, 2,1% penduduk memperoleh pendapatan langsung rata-rata Rp 88 juta. Pada sisi lain, 14 persen penduduk atau sekitar tujuh ratus ribu orang berada dibawah garis kemiskinan dengan pendapatan berkisar Rp 6 - Rp. 7 Juta pertahun. Belanja yang tidak efektif diperparah dengan angka korupsi yang berjumlah Rp 24.189.359.207. (Kajati Aceh, 9 Desember 2024).
Gambaran ini menunjukkan hambatan kesejahteraan masyarakat terjadi karena Pemerintah belum menerapkan good governance. Besaran penerimaan belum berimbas pada peningkatankesejahteraan masyarakat. Pemerintah baru mampu menyejahterakan dirinya, namun belum bisa menyejahterakan masyarakatnya secara menyeluruh.
Dengan budaya Islam yang melekat kuat, masyarakat miskin menganggap kemiskinan adalah cobaan. Mereka tetap bersabar dan senantiasa berdoa, percaya pada yang Maha Kuasa suatu saat akan mengirimkan pemimpin yang adil. Hal ini tidak dapat dijadikan pembenaran oleh Pemerintah. Pendapatan yang diterima, tidak akan berkah jika tidak mampu menyejahterakan masyarakatnya. Pendapatan adalah ujian setelah Pegawai Pemerintah berjanji menyerahkan sebagian kedaulatan yang dimilikinya kepada Negara, diikat oleh semua Peraturan Perundang-Undangan, tentu saja termasuk peraturan yang berlandaskan syari'ah.