Disrupsi Arsip : Kemana Arah Arsiparis dan Unit Kearsipan *)
Dalam sejarah administrasi pemerintahan di Indonesia terdahulu, bagian Arsip selalu ditempatkan di bagian belakang atau juru kunci. Hal ini terjadi karena dua hal. Pertama, pemahaman ruang lingkup arsip terdistorsi hanya pada bagian akhir, dimulai dari pengumpulan, pengendalian, pemeliharaan, perawatan, penyimpanan dan pemusnahan. Dalam kata lain, pengertian arsip hanya untuk arsip inaktif dan cenderung melupakan arsip dinamis. Distorsi ini tidak sepenuhnya salah, karena unit pengolah arsip umumnya mengelola arsip inaktif, sedangkan arsip lebih banyak dikelola pencipta arsip. Kedua, pemahaman nilai guna arsip hanya populer untuk nilai guna sekunder yaitu menjadi bukti hukum yang sah, apabila terjadi perbedaan atau sengketa. Adapun nilai guna primer masih dikelola oleh pencipta arsip.
Penyempitan makna nilai guna hanya untuk nilai guna sekunder bermuara pada pertanyaan berapa banyak sengketa itu terjadi. Jumlahnya sedikit bahkan juga tidak ada. Tidak jarang juga ketika dibutuhkan justru arsipnya tidak ditemukan. Akibatnya, arsip kemudian hanya diartikan dokumen yang tersimpan, menunggu adanya kebutuhan pembuktian. Tidak heran kalau unit pengelola arsip kemudian menjadi jurukunci dalam proses administrasi. Sebagai jurukunci perannya menjadi kecil, baik dari tugas maupun anggaran. Bahkan bagian arsip sering dianggap sebagai tempat parkir pejabat yang dianggap tidak sejalan.
Sejalan dengan perkembangan teknologi, arsip tidak hanya fisik, tetapi juga disimpan dalam bentuk elektronik. Arsip manual berupa kertas, dialihmediakan menjadi elektronik yang disimpan dalam folder computer atau bentuk lainnya. Alihmedia telah dilakukan sejak dekade pertama millennium, melalui scanning dokumen-dokumen arsip. Meskipun arsipnya telah disimpan dalam bentuk elektronik, namun pengelolaan dan penggunaannya masih bersifat konvesional. Arsip fisiknya masih tetap disiman. Keunggulannya arsip elektronik hanya pada kecepatan menemukenali (retrieval) arsip.
Perjalanan arsip elektronik lebih maju lagi saat Pemerintah mengeluarkan aturan tentang Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) yang memaksa instansi menggunakan system yang berbasis elektronik dalam menciptakan arsipnya. Sayangnya, sistem itu masih berdiri sendiri-sendiri, dan tidak tidak terkoneksi dengan instansi lainnya. Akibatnya, sebagian pengelolaan arsip antar instansi masih menggunakan model pengelolaan manual. Penciptaan arsip secara elektronik, dikirim dalam bentuk fisik dan discan kembali oleh bagian arsip untuk penyimpanannya.
Kebijakan pengelolaan arsip semakin berkembang dengan adanya tanda tangan elekronik. Dalam kebijakan tersebut disebutkan arsip yang diciptakan secara elektronik tidak perlu dilakukan pencetakan dalam bentuk fisik. Itu artinya tidak adalagi arsip yang perlu disimpan dalam bentuk fisik. Demikian pula dengan pengirimanya dapat menggunakan media pengiriman elektronik. Hal itu sudah terjadi di Badan Kepegawaian Negara, sejak CPNS 2020 semua arsip sudah dalam bentuk elektronik, tidak ada lagi arsip fisik yang masuk ke bagian arsip. Jika kebijakan ini konsiten dan kontinyu pada semua instansi, maka kedepan tidak akan adalagi arsip fisik. Konsekuensinya, kemana tugas arsiparis akan berlabuh. Benarkah arsiparis sudah tidak diperlukan dan unit pengelola arsip akan dihapuskan?
*) Untuk bahan diskusi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H