Lihat ke Halaman Asli

Mungkinkah Indonesia Miskin di Masa Depan?

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Mungkin ada banyak peranan terhadap perekonomian suatu negara khsusnya jika ditinjau dari aspek sumber daya manusia dan sumber daya alam. Ada sebuah negara miskin sumber daya alam tapi kaya sumber daya manusia dalam artian pintar dalam mencari peluang. Akan tetapi ada juga kaya sumber daya alam tapi sumber daya manusianya terlalu bodoh dalam memanfaatkan sumber daya alamnya.

Hal ini menjadi sebuah masalah ketika sebuah negara yang kaya sumber daya alamnya harus miskin ketika sumber daya alamnya sudah tidak bisa dikelola lagi atau habis. Akan tetapi bagi negara yang dibekali sumber daya manusia yang cerdas, tangguh dan serta kebaikan lainnya dalam diri manusia justru bukan menjadi masalah ketika negara mereka tidak memiliki sumber daya alam yang kaya.

Kita contohkan saja Indonesia. Mungkin ada banyak orang yang bilang Indonesia memiliki kekayaan yang besar tersebar dari Sabang sampai Merauke. Dari Minyak bumi sampai emas dan nama agraris Indonesia yang bercirikan kesuburan tanahnya. Sekarang yang menjadi pertanyaaan pintarkah sumber daya manusia Indonesia dalam menangani hal tersebut ?

Jika kita ambil contoh misalkan batubara yang merupakan bahan bakar fosil. Batubara adalah sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui. Mengambil istilah E. F Schumacher bahwa bahan bakar fosil seolah sebagai pendapatan bukan modal alam sehingga semakin banyak batubara di eksploitasi oleh mereka yang berkuasa atas itu maka di anggap pendapatan meningkat. Tapi sayangnya tidak pernah terpikir bahwa batubara jika dikeruk terus menerus dengan jumlah yang semakin meningkat mungkin hanya akan bertahan dalam beberapa tahun saja dan sisanya tidak akan dinikmati oleh anak cucu kita.

Bahkan dalam sindiran kerasnya E. F. Schumacher mengatakan "  Anak-anak yang sekarang belajar merangkak  sudah harus memikirkan masa pensiunnya". Dalam artian ketika mereka kecil dimasa saat ini mungkin anak-anak kita harus memikirkan bagaimana mereka harus hidup dengan sumber daya alam yang sudah habis. Schumacher berpendapat bahan bakar fosil bukanlah sumber pendapatan melainkan moda  alam yang harus di hemat dan dijaga agar terus menerus ada.

Jika menganggap bahan bakar fosil  adalah sumber pendapatan maka jangan bingung jika bencana silih berganti akibat kerusakan lingkungan, persamasalah ekonomi dimasa depan karena tidak ada lagi sumber pendapatan dari bahan bakar fosil jika anak-anak kita tidak menanamkan benih paradigma kepada anak kita bahwa bahan bakar fosil adalah sumber pendapatan negara seperti saat ini. Sehingga anak -anak kita merasa cukup menjual sumber daya alam maka negara akan terpenuhi padahal itu adalah pemikiran yang salah yang dibawa oleh pendahulu mereka sekarang.

Lain hal dengan pertanian dengan jumlah menyusutnya lahan pertanian tiap tahun dan digantikan dengan pembangunan perumahan serta para petani dan anak petani yang mulai enggan menjadi petani seolah memberikan masalah baru bagi dunia agraria Indonesia. Perkebunan juga mengalami masalah ketika hasil kebun di serang oleh hasil perkebunan impor seperti buah dan sebagainya. Hal ini menjadi momok bagi masyarakat awam Indonesia. Seolah rakyat hanya menjadi pekerja di negara sendiri dan pemerintah penyalurnya kepada konglomerat asing yang datang dengan dalih investasi padahal penguasaan terhadap sumber daya alam yang notabennya untuk hajat hidup orang banyak.

Masalah ini akan terus berlanjut selama perbaikan dalam ranah masalah produksi kita diperbaiki dan di evaluasi. Kita bukan menjadi speasialiasi penjual bahan mentah seperti batubara, minyak bumi dan yang lainnya dan itupun dibawah penguasaan asing.  Kita harus sadar jika hal itu habis maka siapkah kita untuk ambruk tanpa membekali anak -anak yang akan menjadi penerus kita sesuatu hal yang baik. Itu yang harus kita sadari dan pikirkan bersama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline